Academic Leadership
OIeh Dani Wahyu Munggoro, INSPIRIT
Pernahkah Anda masuk sekolah? Ada yang langsung terasa hidup. Ada juga yang seolah mati.
Marmar Mukhopadhyay, profesor dari India, punya jawabannya. Sekolah itu banyak yang sakit. Obatnya ada di tangan kepala sekolah.
Buku “Academic Leadership” ini bukan teori berat. Ini sentilan tajam. Khususnya bagi para pemimpin sekolah.
Efektivitas sekolah bukan sekadar nilai rapor. Bukan cuma murid masuk kampus top. Tapi soal manusia utuh.
Sekolah efektif itu mencetak jiwa berempati. Juga tangan terampil. Bukan robot pintar.
Kepala sekolah sering terjebak rutinitas. Sibuk urus gedung atau gaji. Mereka jadi “tukang kunci” saja.
Padahal, kepala sekolah harus jadi pemimpin akademik. Fokusnya belajar-mengajar. Itu jantung sekolah.
Pemimpin akademik tak cukup IQ tinggi. Mereka butuh EQ dan SQ mumpuni. Hati dan jiwa harus “nyambung”.
Kepemimpinan primal itu menggerakkan dengan emosi. Bukan cuma perintah. Tapi sentuhan hati.
Sekolah itu sistem hidup. Semua bagian saling terhubung. Rusak satu, rusak semua.
Jadi, kualitas itu menyeluruh. Jangan cuma fokus nilai ujian. Tapi juga kebersihan toilet.
Guru bukan robot pengisi data. Mereka pemimpin belajar. Harus punya gairah berinovasi.
Murid bukan ember kosong siap diisi. Mereka sumur potensi. Harus digali maksimal.
Kebijakan pendidikan sering menguap di lapangan. Dibuat di menara gading. Tak membumi.
Mukhopadhyay tawarkan SEPIM (School Educational Policy Implementation Model). Kebijakan harus dimiliki sekolah. Guru ikut merancang.
Kepala sekolah yang melayani itu hebat. Mereka fokus dukung staf. Bukan sibuk memerintah.
Ada harta karun tersembunyi di sekolah. Talenta guru, orang tua, alumni. Jangan disia-siakan.
Budaya kualitas itu mindset. Dari “sudah bagus” jadi “bisa lebih bagus lagi”. Ini soal semangat menular.
Perjalanan pemimpin akademik itu evolusi. Dari administrator. Menuju “zero leadership”.
“Zero leadership” itu puncaknya. Pemimpin seolah lenyap. Tapi dampaknya abadi.