Pisang dan Mata Uang: Sebuah Renungan

Oleh Dani Wahyu Munggoro

Ada sebuah pisang di meja dapur. Kuning, agak bintik-bintik, menunggu diblender. Tapi pisang ini bukanlah sekadar pisang.

Ia adalah kumpulan hubungan. Tanah yang membesarkannya, hujan yang menyiraminya, tangan yang memetiknya. Begitu pisang itu diberi harga—katakanlah seribu rupiah—ia berubah.

Dari jaringan hubungan yang hidup, ia menjadi objek. Sebuah komoditas. Harga telah memotong benang-benang tak kasat mata yang menghubungkannya dengan dunia.

Uang adalah izin untuk tidak melihat. Ketika kita membeli sesuatu, kita membeli jarak dari konteksnya. Kita tak perlu tahu dari mana asalnya, siapa yang membuatnya.

Seorang pelanggan di supermarket tidak perlu tahu. Pisang yang dibelinya mungkin hasil dari tanah yang diracuni pestisida. Petani yang menanamnya dibayar dengan upah yang tak layak.

Uang telah membebaskannya dari beban mengetahui. Tapi apakah ini kebebasan? Atau justru perbudakan terhadap ketidaktahuan?

Kita hidup dalam zaman di mana segalanya dapat dijual. Air, udara bersih, bahkan cinta. Pasar telah menginvasi ruang-ruang yang dulu sakral.
Pendidikan menjadi industri. Kesehatan menjadi bisnis. Bahkan hubungan antarmanusia pun dapat dikomodifikasi.

Ironi dari sistem yang kita sebut “bebas” ini. Ia justru memperbudak kita pada logika yang sama. Kita seperti ular yang memakan ekornya sendiri—terjebak dalam siklus yang kita ciptakan sendiri.

Bagaimana membayangkan dunia tanpa uang? Pertanyaan ini terdengar absurd. Seperti bertanya bagaimana hidup tanpa bernapas.

Padahal uang adalah satu-satunya “kebutuhan” yang hanya dimiliki manusia. Tidak ada makhluk lain yang memerlukan mata uang untuk bertahan hidup. Burung tidak membayar angin untuk terbang.

Pohon tidak membeli tanah untuk berakar. Hanya manusia yang telah mengubah dunia menjadi pasar raksasa. Di mana segala sesuatu harus dibeli untuk diakses.

Mungkin yang kita butuhkan bukanlah ekonomi baru. Tetapi cara pandang baru terhadap nilai. Ekonomi yang tidak memotong hubungan, tetapi justru merayakannya.

Seperti seorang ibu yang tidak pernah membuat daftar untuk mencintai anaknya. Mungkin kita perlu ekonomi yang mengalir secara alami. Dari hubungan-hubungan yang kita jaga.

Hubungan dengan tanah, dengan sesama, dengan masa depan. Ekonomi yang tidak membuat kita buta. Tetapi membantu kita melihat.

Apa jadinya jika mata uang kita adalah hubungan itu sendiri? Mata uang yang tidak dapat memisahkan, tetapi justru menghubungkan. Mata uang yang nilainya terletak pada kemampuannya memelihara kehidupan.

Ini bukan utopia. Ini adalah kebutuhan. Karena ekonomi yang memotong hubungan adalah ekonomi yang merusak fondasi kehidupan itu sendiri.

Kita tidak perlu mencari jauh untuk menemukan ekonomi yang tidak berbasis uang semata. Di negeri ini, gotong royong masih hidup di berbagai desa. Ketika panen tiba, tetangga datang membantu tanpa diminta bayaran.

Mereka datang karena tahu bahwa suatu hari nanti mereka juga akan butuh bantuan. Ini adalah mata uang hubungan yang sesungguhnya. Tidak ada yang ditukar kecuali kepercayaan dan solidaritas.

Warung Bu Siti di ujung gang tidak pernah menolak ketika kita kehabisan uang. “Catat dulu, bayar nanti,” katanya sambil tersenyum. Buku tulis lusuh di atas meja berisi catatan utang-piutang tanpa bunga.

Bu Siti tidak takut kita akan lari. Ia tahu di mana rumah kita, kenal orang tua kita. Hubungan personal menjadi jaminan yang lebih kuat dari apapun.

Setiap Rabu malam, ibu-ibu di Rumah Tangga Nomor Lima berkumpul untuk arisan. Tidak ada bank yang terlibat, tidak ada bunga yang dihitung. Hanya kesepakatan sederhana: setiap bulan semua menyetor, satu orang mendapat giliran.

Sistem ini berjalan puluhan tahun tanpa masalah. Karena yang dijaga bukan kontrak, tetapi kepercayaan. Karena yang dipelihara bukan keuntungan, tetapi hubungan.

Tukang sayur keliling masih menerima barter. Beras dengan bayam, telur dengan kangkung. Tidak ada kalkulator yang menghitung nilai tukar yang “adil.”

Yang ada adalah kesepakatan yang lahir dari kebutuhan bersama. Petani butuh beras, penjual beras butuh sayur. Transaksi terjadi karena saling menguntungkan, bukan karena mengejar profit.

Koperasi desa masih menjadi tulang punggung ekonomi di banyak tempat. Anggota menyetor modal bersama, keuntungan dibagi rata. Tidak ada yang menjadi kaya raya, tetapi juga tidak ada yang kelaparan.

Prinsipnya sederhana: dari anggota, oleh anggota, untuk anggota. Ekonomi yang tidak mencari pemilik, tetapi mencari kebersamaan. Ekonomi yang tidak memisahkan, tetapi menyatukan.

Saya kembali melihat pisang di meja dapur. Kini ia tampak berbeda. Bukan lagi sekadar buah kuning yang akan diblender.

Ia adalah pesan dari tanah. Cerita dari tangan-tangan yang merawatnya. Hadiah dari matahari dan hujan.

Mungkin perubahan besar dimulai dari hal yang sederhana. Cara kita melihat pisang. Atau cara kita melihat segala sesuatu yang ada di hadapan kita.

Karena pada akhirnya, dunia bukan terdiri dari objek-objek yang dapat dibeli dan dijual. Dunia adalah jaringan hubungan yang hidup. Dan kita adalah bagian dari jaringan itu—bukan pemiliknya.

Esai ini terinspirasi oleh pemikiran tentang ekonomi non-trivial yang menolak komodifikasi kehidupan dan mencari cara untuk memelihara hubungan dalam setiap transaksi.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *