Penerapan Hutan Kemasyarakatan Desa

Amanat yang tertuang dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia tahun 1945 menyatakan
bahwa seluruh sumber daya dan kekayaan alam berada di bawah kekuasaan negara. Meskipun
ketentuan hukum menempatkan otoritas terhadap sumber daya alam tersebut pada berbagai
level pemerintahan, hak dan tanggung jawab untuk mengelola hutan tetap dipegang oleh institusi
pemerintah selama bertahun-tahun lamanya. Hal ini ternyata tidak efektif dalam mengurangi
tingkat deforestasi di Indonesia dan penduduk desa yang tinggal di sekitar hutan pun tetap
hidup dalam kemiskinan. Tanpa adanya hak kepemilikan, akses, dan pengelolaan (property
rights), mereka tidak dapat menikmati hasil sumber daya hutan secara legal dan pada akhirnya
justru tergoda untuk berpartisipasi dalam eksploitasi sumber daya hutan secara ilegal seperti
perburuan dan penebangan liar.
Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah Indonesia secara bertahap menerapkan berbagai
ketentuan tambahan dalam regulasi kehutanan Indonesia, termasuk memberikan hak bagi
masyarakat setempat untuk dapat terlibat dalam pengelolaan sumber daya hutan. Guna
memperoleh hak untuk mengakses dan menggunakan sumber daya hutannya, para penduduk
desa diharuskan untuk mendirikan Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) dan berbagi hasil
keuntungannya dengan pemerintah. Pemerintah berencana untuk memberikan konsesi kepada
33.000 desa di seluruh Indonesia sebagai bagian dari kebijakan Skema Perhutanan Sosial.
Meski demikian, pemberian konsesi saja tidak akan mengurangi deforestasi dan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat desa, melainkan harus didukung oleh berbagai kegiatan pelengkap
yang membantu penerapan kebijakan hutan kemasyarakatan tersebut.
Kajian ini memaparkan pengalaman dua desa yaitu Desa Sembungan dan Desa Buntu di
Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Provinsi Jawa Tengah. Dua desa ini hanya terpisah
jarak 10 km dan keduanya telah memperoleh hak secara parsial terhadap kepemilikan, akses,
dan pengelolaan (partial property rights) melalui kebijakan hutan kemasyarakatan. Meski
demikian, kedua desa ini memiliki cara yang berbeda dalam memanfaatkan kesempatannya
dalam pengelolaan hutan. Ketika Desa Sembungan berhasil mengembangkan lokasi ekowisata
yang berkontribusi terhadap peningkatan kesejahteraan penduduknya, Desa Buntu justru masih
mengalami kesulitan dalam memulai prakarsanya sendiri. Selain itu, desa ini juga sempat
bersinggungan dengan Perum Perhutani yang beberapa waktu yang lalu pernah memiliki
rencana untuk menebang pepohonan di dalam hutan di sekitar desa.
Kedua studi kasus ini menyoroti pentingnya tiga area kegiatan yang melengkapi kebijakan
hutan kemasyarakatan agar dapat memberikan manfaat yang diinginkan. Pertama, harus ada
persamaan persepsi di antara para penduduk desa bahwa adanya berbagai perubahan yang
ditimbulkan oleh pembangunan ekonomi dapat memberikan manfaat yang positif bagi desanya.
Pengalaman positif yang dipelajari dari kisah-kisah sukses di desa-desa lain berpotensi
untuk membantu membangun persepsi positif tersebut. Kedua, diperlukan adanya program
peningkatan kapasitas untuk meningkatkan kemampuan para warga desa dalam bidang
perencanaan, organisasi, keuangan dan pengelolaan sumber daya manusia di desanya masingmasing. Ketiga, desa-desa perlu bekerjasama dengan pihak-pihak eksternal, baik desa-desa
tetangga, institusi pemerintah, maupun komunitas bisnis guna mendapatkan dukungan mereka
dalam proyek-proyek pembangunan desa.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *