Negeri Para Dewa yang Dihimpit Bencana
Dieng dan Kontradiksinya
Dieng negeri Para Dewa
Dataran Tinggi Dieng, yang dikenal sebagai “negeri para dewa,” berasal dari kata-kata dalam Bahasa Kawi: “Di” yang berarti tempat atau gunung, dan “Hyang” yang berarti Dewa. Nama ini mencerminkan keindahan dan kekayaan budaya yang tersimpan di sana, dengan pengaruh ajaran Hindu yang pernah mendominasi kawasan ini, ditandai dengan adanya sejumlah candi, termasuk Candi Arjuna yang terkenal. Namun, di balik keindahan alam dan warisan sejarahnya, Dieng juga menyimpan beragam bencana yang terus mengancam kehidupan penduduknya.
Dieng: Kawasan Vulkanik yang Berbahaya
Dieng merupakan kaldera vulkanik aktif di Jawa Tengah, hasil dari letusan gunung api purba yang mengubah wajah kawasan ini. Dengan dikelilingi oleh gunung-gunung baru seperti Gunung Bisma, Gunung Seroja, dan Gunung Pakuwojo, kawasan ini memiliki potensi vulkanik yang signifikan. Namun, keindahan alamnya menyimpan bahaya yang mengintai. Sebanyak 22 kawah di Dataran Tinggi Dieng dianggap berpotensi mengeluarkan gas beracun. Tragedi letusan Kawah Sinila pada 20 Februari 1979, yang mengakibatkan 149 orang tewas karena gas karbondioksida, menjadi pengingat akan bahaya yang mengancam penduduk.
Embun Upas: Musuh Tersembunyi bagi Pertanian
Salah satu fenomena unik yang muncul di Dieng adalah embun upas. Meskipun tidak langsung mengancam jiwa manusia, embun ini membunuh tanaman pertanian yang siap panen, sehingga berdampak negatif pada perekonomian masyarakat. Suhu dingin yang ekstrem, terutama saat musim kemarau, memicu pembekuan uap air yang mengubahnya menjadi embun berbahaya. Hal ini mengakibatkan kerugian besar bagi para petani, yang bergantung pada hasil pertanian mereka.
Longsor: Ancaman di Setiap Musim Hujan
Dataran Tinggi Dieng juga dikenal sebagai kawasan rawan longsor. Dengan lebih dari 7.000 hektar lahan kritis dan tingkat erosi yang tinggi, longsor menjadi ancaman nyata, terutama saat hujan deras. Salah satu insiden terbaru terjadi pada bulan April lalu di Kabupaten Banjarnegara, di mana longsor menutup akses jalan menuju kawasan wisata Dieng. Kejadian seperti ini mencerminkan bagaimana kondisi tanah dan curah hujan berkontribusi pada bencana yang melanda wilayah ini.
Banjir: Serangan Air yang Menghancurkan
Banjir juga menjadi masalah serius di Dieng. Pada tahun 2017, banjir bandang melanda beberapa kecamatan setelah hujan deras selama dua jam. Sungai Serayu yang meluap tidak mampu menahan sedimentasi parah, mengakibatkan bencana bagi penduduk. Pemodelan yang dilakukan oleh Chrisanto dkk menunjukkan bahwa sedimentasi di hulu DAS Serayu mencapai hampir 2 juta ton per tahun, menciptakan risiko yang semakin tinggi bagi masyarakat.
Klasifikasi Wilayah Rawan Bencana
Karena banyaknya potensi bencana, wilayah Dieng dibagi menjadi tiga kawasan rawan bencana (KRB). KRB III merupakan kawasan paling berisiko tinggi, dengan potensi gas beracun, hujan lumpur, dan aliran lumpur. Kawasan sekitar Kawah Timbang dan Telaga Nila termasuk dalam kategori ini, sementara KRB II masih berisiko terkena aliran gas beracun dan lontaran batu. KRB I menjadi wilayah yang diperkirakan akan meluas jika bencana semakin memburuk.
Kesimpulan
Dataran Tinggi Dieng, meskipun diidentifikasi sebagai “negeri para dewa,” menghadapi realitas pahit berupa bencana alam yang terus menerus mengancam kehidupan masyarakat. Dengan berbagai tantangan yang dihadapi, dari letusan kawah hingga embun upas dan longsor, keberlanjutan hidup penduduk Dieng membutuhkan perhatian lebih dari pemerintah dan masyarakat. Peningkatan kesadaran, mitigasi bencana, dan pengelolaan lingkungan yang lebih baik sangat penting untuk memastikan bahwa kawasan yang kaya akan sejarah dan budaya ini dapat bertahan dan berkembang meskipun dikelilingi oleh potensi bencana yang menakutkan.
Mitigasi dan Upaya Penanganan Bencana di Dieng
Untuk menghadapi tantangan bencana yang kompleks di Dataran Tinggi Dieng, penting bagi semua pihak untuk terlibat dalam upaya mitigasi dan penanganan bencana. Berikut adalah beberapa langkah yang dapat diambil:
1. Pemantauan dan Pendidikan Masyarakat
Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) harus terus melakukan pemantauan terhadap aktivitas vulkanik dan geologis di kawasan ini. Edukasi kepada masyarakat tentang tanda-tanda potensi bencana seperti gas beracun dan longsor sangat penting. Dengan pemahaman yang lebih baik, penduduk dapat lebih siap dan cepat merespons keadaan darurat.
2. Pengelolaan Sumber Daya Alam
Pengelolaan lahan kritis di Dataran Tinggi Dieng harus ditingkatkan untuk mengurangi erosi dan longsor. Program reboisasi dan perbaikan struktur tanah akan membantu menjaga kestabilan lahan. Penanaman vegetasi yang tepat dapat memperkuat tanah dan mencegah longsor, terutama di daerah yang rawan.
3. Pengembangan Infrastruktur yang Tahan Bencana
Infrastruktur jalan dan fasilitas umum di Dieng perlu diperkuat untuk mengurangi dampak bencana. Desain jalan yang mempertimbangkan risiko longsor dan banjir, serta penyediaan sistem drainase yang baik, akan mengurangi kerugian yang disebabkan oleh bencana alam. Selain itu, pembuatan jalur evakuasi yang jelas dan aksesibilitas bagi layanan darurat juga harus diperhatikan.
4. Diversifikasi Pertanian dan Dukungan Ekonomi
Masyarakat Dieng, yang sangat bergantung pada pertanian, perlu diberikan alternatif dan dukungan dalam diversifikasi usaha. Pemerintah dapat membantu melalui pelatihan dan akses ke pasar untuk produk non-pertanian, sehingga penduduk tidak sepenuhnya bergantung pada hasil pertanian yang rentan terhadap embun upas dan cuaca ekstrem.
5. Kerjasama dengan Lembaga dan Organisasi
Menggandeng lembaga pemerintahan, LSM, dan komunitas lokal dalam program mitigasi bencana dapat memperkuat upaya penanganan bencana. Kerjasama ini dapat mencakup penelitian dan pengembangan teknologi ramah lingkungan yang dapat diterapkan untuk mitigasi bencana di daerah rawan.
6. Penerapan Kebijakan Lingkungan yang Ketat
Pemerintah daerah harus menerapkan kebijakan yang ketat mengenai penggunaan lahan dan perlindungan lingkungan. Mengurangi aktivitas yang merusak lingkungan, seperti pembukaan lahan secara sembarangan dan pertambangan yang tidak teratur, dapat membantu menjaga ekosistem Dieng dan meminimalkan risiko bencana.
Penutup
Dieng, yang dikenal sebagai “negeri para dewa,” memiliki keindahan alam dan kekayaan budaya yang menakjubkan, tetapi juga dihadapkan pada tantangan bencana yang serius. Upaya mitigasi dan penanganan bencana yang terintegrasi, berkelanjutan, dan melibatkan semua pihak adalah kunci untuk melindungi masyarakat dan lingkungan. Dengan langkah-langkah yang tepat, diharapkan Dataran Tinggi Dieng dapat bertransformasi menjadi kawasan yang aman, lestari, dan sejahtera, sambil tetap mempertahankan warisan budaya dan alam yang menjadi identitasnya.