Marak Pembangunan Akomodasi Wisata di Lereng Terjal Dieng:
Antara Permintaan Pasar dan Risiko Bencana
Dalam beberapa tahun terakhir, kawasan lereng Dieng /sekitar kanan kiri jalan dieng menuju plateau di Kabupaten Wonosobo mulai dipenuhi dengan pembangunan akomodasi wisata seperti cabin, glamping, dan bentuk penginapan inovatif lainnya. Kehadiran akomodasi-akomodasi ini tak lepas dari tren wisata alam yang semakin diminati, terutama oleh wisatawan yang menginginkan pengalaman dekat dengan alam namun tetap nyaman. Namun, maraknya pembangunan ini menimbulkan berbagai kekhawatiran mengingat wilayah ini memiliki tingkat kerawanan longsor yang sangat tinggi.
Potensi Bahaya dan Tanggung Jawab Penataan Ruang
Lereng di sepanjang jalur Dieng terkenal dengan kemiringan yang tajam dan kondisi tanah yang tidak stabil, terlebih pada musim hujan. Meningkatnya pembangunan fasilitas wisata di wilayah ini mengundang pertanyaan tentang sejauh mana kegiatan ini sudah mengikuti aturan yang tercantum dalam Peraturan Daerah (Perda) tentang Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW) serta Rencana Detail Tata Ruang (RDTR). Berdasarkan perda ini, seharusnya ada pembatasan untuk pembangunan di area yang rawan bencana demi menjaga keselamatan masyarakat, pengunjung, dan ekosistem sekitar.
RTRW dan RDTR memiliki fungsi penting dalam menetapkan zona-zona yang layak untuk dikembangkan, sekaligus yang perlu dipertahankan sebagai daerah konservasi atau larangan pembangunan. Pemerintah daerah bersama pemangku kepentingan seharusnya melakukan kajian ulang terhadap izin-izin pendirian bangunan di area yang rawan longsor ini. Tanpa adanya kontrol yang ketat, risiko bencana tanah longsor dapat meningkat, mengancam keselamatan penghuni dan wisatawan. Atau mungkin pembanguna akomodasi wisata di kawan lereng ini tanpa ijin ?
Pentingnya Kajian Lingkungan dan Risiko Bencana
Sebagai bagian dari regulasi dan prosedur, pembangunan akomodasi wisata seharusnya melalui kajian lingkungan dan kajian risiko bencana. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dapat memberikan gambaran rinci mengenai dampak dari pembangunan terhadap keseimbangan ekosistem, potensi risiko bencana, dan mitigasi yang diperlukan. Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, setiap pembangunan di kawasan yang rawan longsor seharusnya memiliki penilaian risiko, seperti kajian geoteknik dan mitigasi bencana, yang ketat sebelum izin dikeluarkan.
Namun, sayangnya, realitas di lapangan seringkali memperlihatkan bahwa beberapa pembangunan dilakukan tanpa kajian yang memadai. Padahal, kesadaran mengenai potensi bencana di wilayah seperti Dieng ini sangatlah penting, terutama bagi para pengelola dan wisatawan yang akan menggunakan fasilitas tersebut. Hal ini juga menyangkut kelangsungan bisnis dalam jangka panjang, mengingat lokasi yang rawan akan berdampak negatif terhadap kepercayaan wisatawan.
Antara Permintaan Pasar dan Kearifan Lokal
Tak dapat dipungkiri, daya tarik wisata Dieng menjadi salah satu pendorong utama perkembangan akomodasi di area lereng ini. Minat wisatawan terhadap penginapan berkonsep “nature escape” mendorong investor untuk menyediakan akomodasi yang dekat dengan pemandangan alam. Di sisi lain, pembangunan ini seringkali tidak memperhatikan kearifan lokal masyarakat sekitar, yang selama ini menjunjung nilai keharmonisan dengan alam. Masyarakat Dieng yang memiliki budaya agraris tradisional memahami risiko alam di sekitar mereka dan secara turun-temurun telah menjaga keseimbangan ekosistem dengan menahan diri dari pembangunan di lahan-lahan yang curam dan rawan.
Masyarakat lokal pun seharusnya dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, bukan hanya sebagai objek pembangunan, tetapi juga sebagai pihak yang paham mengenai kondisi alam di wilayah tersebut. Dengan pendekatan partisipatif, pembangunan di Dieng dapat lebih menyesuaikan dengan potensi risiko dan kearifan lokal, sekaligus memenuhi kebutuhan wisatawan secara berkelanjutan.
Kolaborasi Antara Pemerintah dan Pelaku Usaha untuk Pengembangan Berkelanjutan
Pengembangan akomodasi di wilayah rawan longsor perlu berada di bawah pengawasan ketat. Pemerintah daerah harus memastikan bahwa semua pelaku usaha yang terlibat memenuhi ketentuan perizinan dan mematuhi hasil kajian risiko yang ada. Bentuk kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat lokal akan sangat penting untuk memastikan pengembangan yang tidak hanya memenuhi permintaan wisatawan, tetapi juga melindungi keselamatan dan keseimbangan lingkungan.
Pemda Kabupaten Wonosobo diharapkan dapat lebih memperkuat regulasi terkait pembangunan di lereng Dieng ini dan memastikan bahwa perencanaan tata ruang di wilayah wisata telah sesuai dengan kajian risiko bencana.
Melalui pengelolaan yang bertanggung jawab, pengembangan akomodasi wisata di Dieng dapat menjadi aset yang memperkuat daya tarik wisata, tanpa mengorbankan keselamatan dan keberlanjutan lingkungan.
Untuk mengatasi tantangan ini, beberapa solusi dapat diterapkan guna menjaga keseimbangan antara pengembangan wisata dan keberlanjutan lingkungan di kawasan lereng Dieng yang rawan longsor:
Apa yang perlu dilakukan ?
1. Penegakan Peraturan RTRW dan RDTR secara Ketat
Pemerintah daerah harus lebih tegas dalam menerapkan Peraturan Daerah (Perda) tentang RTRW dan RDTR. Setiap pengajuan izin bangunan di lereng rawan longsor wajib memenuhi kriteria tata ruang yang telah ditetapkan. Ini termasuk mengklasifikasikan zona-zona yang diperbolehkan untuk pembangunan dan yang tidak diperbolehkan, berdasarkan tingkat kerawanan bencana.
Selain itu, penerapan sanksi tegas bagi pelanggaran ketentuan tata ruang perlu dilakukan untuk memastikan semua pihak mematuhi regulasi yang ada. Hal ini akan menekan kecenderungan investor yang mungkin ingin mengabaikan aspek keamanan demi keuntungan.
2. Memperkuat Kajian Lingkungan dan Risiko Bencana
Setiap rencana pembangunan baru di lereng Dieng perlu melalui proses Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) atau Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) yang lebih menyeluruh, termasuk studi geoteknik dan risiko longsor. Pengelola wisata harus diwajibkan menyediakan Rencana Tanggap Darurat dan Rencana Mitigasi Bencana yang efektif.
Penggunaan teknologi pemetaan dan pemantauan tanah dapat membantu dalam mendeteksi pergerakan tanah dan mengidentifikasi titik-titik yang rentan. Sensor-sensor pemantau longsor juga dapat dipasang di beberapa area berisiko tinggi untuk memberikan peringatan dini kepada pengelola dan wisatawan, sehingga mereka dapat segera mengambil tindakan pencegahan.
3. Melibatkan Masyarakat Lokal dalam Pengambilan Keputusan
Masyarakat setempat, yang memiliki pengetahuan lokal dan pemahaman mendalam tentang kondisi alam sekitar, perlu dilibatkan dalam setiap proses pengambilan keputusan terkait pembangunan di lereng Dieng. Pendekatan partisipatif ini akan memperkuat hubungan antara pengembang dan komunitas lokal serta memastikan pembangunan sejalan dengan kearifan lokal.
Selain itu, masyarakat dapat menjadi penjaga lingkungan yang membantu mengawasi dan memberikan masukan terhadap proyek-proyek baru, serta mengedukasi wisatawan tentang pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
4. Menerapkan Prinsip Ekowisata dan Pembangunan Berkelanjutan
Pengembangan wisata di kawasan rawan longsor seperti lereng Dieng harus mengedepankan prinsip ekowisata, yaitu pembangunan yang ramah lingkungan dan memperhatikan kelestarian alam. Setiap bangunan sebaiknya menggunakan bahan-bahan yang ringan dan tidak permanen, serta meminimalisir perubahan struktur tanah untuk mengurangi risiko longsor.
Desain bangunan bisa diadaptasi agar lebih menyatu dengan alam dan mengurangi dampak visual yang mengganggu pemandangan. Hal ini tidak hanya akan mengurangi risiko bencana, tetapi juga memberikan pengalaman wisata yang lebih autentik dan berkesan bagi wisatawan.
5. Mengembangkan Sistem Pemantauan dan Perizinan Digital
Pemerintah daerah dapat memanfaatkan teknologi digital untuk menciptakan sistem pemantauan berbasis daring yang transparan dan mudah diakses oleh semua pihak. Sistem ini dapat mencakup database pembangunan yang terhubung dengan kajian lingkungan, risiko bencana, dan izin yang diterbitkan. Pengawasan yang lebih transparan akan membuat setiap tahapan perizinan dan pengawasan lebih jelas dan mudah diikuti oleh masyarakat.
Selain itu, sistem ini dapat mempercepat proses pengawasan oleh dinas terkait, karena mereka dapat memantau secara real-time dan merespon laporan dari masyarakat atau pengelola yang melihat tanda-tanda bahaya di area rawan longsor.
6. Pengendalian Jumlah Pengunjung dan Penerapan Biaya Konservasi
Jumlah wisatawan yang berkunjung ke lokasi rawan bencana sebaiknya dibatasi untuk mengurangi dampak pada lingkungan dan memastikan keamanan. Pemerintah bisa menerapkan sistem kuota pengunjung atau tiket khusus yang dilengkapi dengan biaya konservasi. Dana yang terkumpul dari biaya konservasi ini dapat digunakan untuk pemeliharaan lingkungan dan mitigasi bencana, termasuk pembangunan infrastruktur penahan longsor atau sistem peringatan dini.
7. Kampanye Edukasi dan Kesadaran Lingkungan bagi Wisatawan
Edukasi bagi wisatawan sangat penting untuk membangun kesadaran tentang potensi risiko bencana dan tanggung jawab menjaga kelestarian alam. Program edukasi bisa dilakukan melalui informasi yang disediakan di pintu masuk wisata atau melalui media sosial. Wisatawan perlu diinformasikan tentang cara bertindak jika terjadi kondisi darurat, serta pentingnya menjaga area agar tetap bersih dan aman.
Dengan cara ini, wisatawan menjadi lebih waspada dan memahami tanggung jawab mereka dalam mendukung pariwisata yang aman dan berkelanjutan.
8. Membangun Kolaborasi antara Pemerintah, Investor, dan Akademisi
Pemerintah daerah dapat menjalin kerjasama dengan para peneliti, ahli geologi, dan akademisi dalam melakukan studi jangka panjang mengenai keamanan dan kelayakan pembangunan di lereng Dieng. Kolaborasi ini akan menghasilkan data dan solusi yang lebih kuat dan mendalam terkait mitigasi risiko longsor.
Melalui riset akademis yang berkesinambungan, daerah rawan longsor ini dapat diatur dengan lebih hati-hati dan berbasis data, sehingga setiap pembangunan benar-benar mengikuti standar keamanan yang dibutuhkan.
Apa Peran Pemerintah dan Multistakeholder dalam masalah ini?
1. Peran Pemerintah Daerah dan Nasional
- Penegakan Regulasi dan Perizinan: Pemerintah bertanggung jawab untuk memastikan kepatuhan terhadap Rencana Tata Ruang dan Wilayah (RTRW), Rencana Detail Tata Ruang (RDTR), serta aturan lingkungan seperti Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS). Penerbitan izin bangunan di kawasan rawan longsor harus melalui kajian yang ketat.
- Penyediaan Sistem Pemantauan Berbasis Teknologi: Membangun sistem pemantauan digital untuk pengawasan real-time, transparan, dan mudah diakses oleh publik untuk memantau pembangunan serta mengidentifikasi potensi risiko bencana secara cepat.
- Edukasi dan Kesadaran Lingkungan: Pemerintah dapat menjalankan kampanye kesadaran bagi wisatawan dan masyarakat terkait pentingnya menjaga lingkungan dan potensi risiko bencana di kawasan Dieng.
- Fasilitasi Kolaborasi: Pemerintah juga berperan sebagai fasilitator untuk mengoordinasikan kolaborasi antar-stakeholder, termasuk melibatkan akademisi, LSM, komunitas lokal, dan pelaku usaha wisata dalam proses perencanaan dan implementasi pengelolaan pariwisata yang berkelanjutan.
2. Peran Pelaku Usaha Wisata
- Kepatuhan terhadap Peraturan Lingkungan dan Keamanan: Pengusaha wisata, termasuk pemilik cabin dan glamping, harus mematuhi seluruh regulasi, terutama di daerah rawan bencana. Setiap usaha wisata harus memiliki rencana mitigasi bencana yang jelas dan menyediakan fasilitas keselamatan bagi tamu.
- Pengembangan Ekowisata: Pelaku usaha dapat berperan aktif dalam membangun fasilitas wisata yang ramah lingkungan dengan konsep ekowisata, menggunakan bahan bangunan yang ringan, desain yang menyatu dengan alam, dan teknologi yang minim dampak lingkungan.
- Edukasi Wisatawan: Pengusaha memiliki tanggung jawab untuk mengedukasi wisatawan tentang perilaku yang mendukung keberlanjutan, termasuk menjaga kebersihan, mematuhi aturan keselamatan, serta menghormati budaya lokal.
- Kolaborasi dengan Komunitas Lokal: Pelaku usaha dapat bekerja sama dengan masyarakat lokal untuk memberdayakan mereka sebagai bagian dari pengelolaan pariwisata, seperti memberikan peluang kerja, program pelatihan, dan melibatkan mereka dalam proses pengawasan.
3. Peran ASITA (Asosiasi Perusahaan Perjalanan Wisata Indonesia)
- Advokasi Standar Keamanan dan Keberlanjutan: Sebagai asosiasi yang mengelola perjalanan wisata, ASITA dapat memberikan panduan kepada anggotanya mengenai standar keamanan di area wisata rawan bencana serta menekankan pentingnya keberlanjutan.
- Promosi Ekowisata yang Aman: ASITA dapat mengarahkan para agen perjalanan untuk mempromosikan akomodasi dan aktivitas yang ramah lingkungan serta aman bagi wisatawan, terutama di kawasan-kawasan dengan risiko bencana.
- Sosialisasi dan Pelatihan kepada Anggota: ASITA dapat memberikan pelatihan kepada anggotanya tentang mitigasi risiko bencana, termasuk langkah-langkah darurat yang perlu diambil dalam kondisi bencana.
- Kerja Sama dengan Pemerintah dan Aktivis Lingkungan: ASITA dapat berkolaborasi dengan pemerintah dan aktivis lingkungan untuk memastikan pengembangan wisata yang tidak mengancam keselamatan wisatawan serta mendukung pelestarian alam.
4. Peran Aktivis Lingkungan
- Kampanye Kesadaran dan Advokasi Lingkungan: Aktivis lingkungan dapat meningkatkan kesadaran masyarakat tentang dampak negatif pembangunan di daerah rawan longsor dan pentingnya menjaga kelestarian lingkungan.
- Pengawasan dan Laporan Risiko: Aktivis dapat berperan sebagai pengawas independen terhadap setiap kegiatan pembangunan di wilayah Dieng yang rawan longsor dan melaporkan temuan yang berisiko terhadap lingkungan kepada pemerintah dan masyarakat.
- Kolaborasi untuk Pendidikan Lingkungan: Aktivis dapat bekerja sama dengan pemerintah, pengusaha, dan masyarakat lokal untuk mengadakan program pendidikan lingkungan yang mengajarkan pentingnya pelestarian lingkungan dan mitigasi bencana.
- Pemantauan Pengelolaan Sampah dan Daya Dukung Lingkungan: Aktivis dapat mengawasi tata kelola sampah dan memastikan bahwa pembangunan wisata tidak melebihi daya dukung lingkungan di Dieng.
5. Peran Komunitas Lokal dan Pemangku Kepentingan Lainnya
- Penjaga Lingkungan dan Budaya Lokal: Komunitas lokal memiliki pemahaman tentang kondisi alam dan budaya yang unik. Mereka dapat berperan sebagai penjaga yang melindungi wilayah mereka dari pembangunan yang berlebihan dan menjaga kearifan lokal dalam pengelolaan lingkungan.
- Partisipasi Aktif dalam Pengambilan Keputusan: Masyarakat lokal harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan dan diberi kesempatan untuk menyampaikan aspirasi mereka terkait pengembangan pariwisata di wilayah rawan longsor.
- Kolaborasi dalam Edukasi Wisatawan: Warga lokal dapat berperan dalam mengedukasi wisatawan mengenai etika berwisata dan pentingnya menjaga kelestarian alam di Dieng, serta mempromosikan nilai-nilai budaya setempat.
- Pengembangan Program Ekowisata Berbasis Komunitas: Melalui kemitraan dengan pengusaha dan pemerintah, komunitas lokal dapat mengembangkan ekowisata berbasis masyarakat yang lebih aman, berkelanjutan, dan selaras dengan kearifan lokal.
6. Peran Akademisi dan Peneliti
- Melakukan Riset Jangka Panjang: Akademisi dapat melakukan riset yang mendalam mengenai stabilitas tanah dan kondisi geologi di lereng Dieng serta memberikan masukan berbasis data mengenai kawasan yang cocok dan tidak cocok untuk pembangunan.
- Menyediakan Rekomendasi Ilmiah untuk Kebijakan: Akademisi dan peneliti dapat menyediakan rekomendasi berbasis riset kepada pemerintah dan pelaku usaha mengenai mitigasi bencana, ekowisata, serta teknik pembangunan ramah lingkungan di daerah rawan longsor.
- Pelatihan Mitigasi Bencana dan Pengelolaan Lingkungan: Akademisi dapat memberikan pelatihan kepada masyarakat lokal dan pengusaha tentang langkah-langkah mitigasi bencana dan tata kelola lingkungan yang tepat, sehingga mereka lebih siap menghadapi risiko bencana.
7. Peran Wisatawan sebagai Pengguna Layanan
- Menghormati Aturan Keamanan dan Lingkungan: Wisatawan perlu mendukung keamanan dengan mematuhi aturan keselamatan di tempat-tempat yang berisiko dan menjaga kebersihan lingkungan.
- Memilih Wisata Ramah Lingkungan: Wisatawan dapat memilih akomodasi dan aktivitas wisata yang ramah lingkungan, sehingga mereka turut berkontribusi dalam menjaga kelestarian Dieng sebagai destinasi wisata berkelanjutan.
- Berpartisipasi dalam Program Konservasi: Wisatawan dapat ikut serta dalam program-program konservasi, seperti penanaman pohon atau kegiatan sosial yang diselenggarakan oleh masyarakat lokal, guna mendukung kelestarian lingkungan dan budaya setempat.
Pembangunan akomodasi wisata di lereng Dieng harus mempertimbangkan keseimbangan antara memenuhi permintaan pasar dan menjaga keselamatan serta keberlanjutan lingkungan. Dengan perencanaan yang matang, kolaborasi antar pemangku kepentingan, dan penerapan regulasi yang ketat, pengembangan wisata di kawasan ini dapat menjadi contoh bagaimana pariwisata dan kelestarian alam dapat berjalan seiring. Langkah-langkah ini tidak hanya melindungi lingkungan dan keselamatan manusia, tetapi juga memperkuat kualitas dan daya tarik pariwisata Dieng dalam jangka panjang.
Penyelesaian masalah pembangunan akomodasi wisata di lereng rawan longsor di Dieng memerlukan keterlibatan berbagai pihak dengan peran masing-masing yang saling mendukung. Berikut adalah peran dari setiap pemangku kepentingan (multi-stakeholder) dalam mewujudkan solusi yang efektif dan berkelanjutan:
Kolaborasi antara pemerintah, pelaku usaha wisata, ASITA, aktivis lingkungan, akademisi, komunitas lokal, dan wisatawan adalah kunci untuk menjaga keberlanjutan pembangunan wisata di lereng Dieng. Setiap pemangku kepentingan memiliki tanggung jawab spesifik yang, jika dilaksanakan dengan baik, dapat menciptakan ekosistem wisata yang aman, bertanggung jawab, dan selaras dengan alam serta budaya lokal.