ABCD: Menggali Kekuatan Komunitas

Oleh Dani Wahyu Munggoro, INSPIRIT
Lupakan sejenak teori muluk-muluk pembangunan. ABCD itu Asset-Based Community Development, jurus lama yang terlupakan. Ini tentang bagaimana warga gotong royong, bikin perubahan nyata di kampungnya.
Para ahli suka sekali mengutak-atik masalah. Mereka sibuk mendiagnosis ‘penyakit’ masyarakat. ABCD justru bilang, “Eh, lihat dong apa yang sudah ada!”
Intinya sederhana: kekuatan sejati itu ada di dalam. Bukan menunggu bantuan dari luar, apalagi dari utusan PBB. Warga sendirilah yang punya kunci, punya jurus, punya harta karun.
Harta karun pertama? Ya, bakat tersembunyi tiap individu. Setiap orang, bahkan yang paling dipandang sebelah mata, punya potensi. Jangan remehkan ibu-ibu yang jago bikin kue, itu aset!
Lalu, ada kekuatan perkumpulan lokal. Arisan, pengajian, klub motor, semua itu modal sosial raksasa. Asosiasi ini bisa jadi mesin penggerak, jauh lebih lincah dari birokrasi.
Institusi besar? Boleh saja ikut campur, tapi jangan sok jadi bos. Peran mereka itu mendukung, bukan menggurui apalagi mengendalikan. Mereka harusnya jadi pelayan, bukan raja.
Jangan lupakan sumber daya fisik dan ekonomi lokal. Tanah kosong bisa jadi kebun, warung kecil bisa jadi pusat ekonomi. Semua itu modal nyata yang sering kita abaikan.
Terakhir, ada cerita dan warisan budaya. Kisah-kisah leluhur, tradisi gotong royong, itu perekat komunitas yang tak ternilai. Ini pondasi kuat yang bikin warga bangga.
Lantas, bagaimana ABCD bekerja di lapangan? Ada beberapa tahapan yang bikin geleng-geleng. Ini bukan peta baku, tapi lebih mirip kompas penunjuk arah.
Pertama, “Discover” atau temukan. Cari konektor lokal, mereka yang secara alami menyatukan warga. Bangun meja bundar berisi para penghubung, biar semua suara terdengar.
Kedua, “Welcome” atau sambut. Aktiflah menyambut tetangga, terutama yang terpinggirkan. Gelar obrolan santai atau kampanye mendengarkan, biar tahu apa yang mereka peduli.
Ketiga, “Portray” atau gambarkan. Setelah tahu apa yang penting, buatlah potret dinamis aset lokal. Ini bukan cuma peta statis, tapi gambaran hidup sumber daya komunitas.
Keempat, “Share” atau berbagi. Lakukan hal-hal bersama, dari makan bareng sampai berkebun komunitas. Ciptakan momen ‘berbagi’, biar tetangga jadi sahabat karib.
Kelima, “Celebrate” atau rayakan. Rayakan setiap keberhasilan, sekecil apapun itu. Pesta makanan, nyanyi, joget, biar semangat gotong royong makin membara.
Terakhir, “Vision” atau wujudkan visi. Buat visi bersama, tentukan prioritas, dan bayangkan masa depan kampung. Ini memastikan warga jadi produsen utama perubahan, bukan penonton pasif.
John McKnight belajar banyak dari Saul Alinsky. Alinsky mengajarkan: kalau tak punya uang, kumpulkan orang. Massa itu kekuatan, bisa bikin institusi besar gemetar.
Lalu ada Ivan Illich, si pemikir radikal yang bikin kaget. Dia bilang, institusi itu awalnya baik, tapi kalau sudah besar malah bisa kontraproduktif. Rumah sakit bikin sakit, sekolah bikin bodoh, lucu kan?
Robert Mendelsohn, dokter yang nyentrik, juga menginspirasi. Dia bilang, kesehatan itu urusan nenek moyang, bukan cuma dokter. Komunitas dan keluarga jauh lebih jago urus kesehatan.
Judith Snow, wanita yang ‘diberi label’ disabilitas, adalah bukti nyata. Dia tunjukkan, orang yang dianggap ‘cacat’ itu justru punya banyak karunia. Sistemlah yang seringkali bikin mereka tak berdaya.
Maka, para profesional itu maunya jadi pahlawan super. Padahal, seringnya mereka cuma bikin warga makin manja. ABCD menohok: “Kalian itu pelayan, bukan raja!”
Kita ini sering cari kunci di bawah lampu jalan. Padahal kuncinya jatuh di kolong ranjang yang gelap gulita. ABCD itu senter yang menyinari kolong ranjang, menemukan harta karun tersembunyi.
Tentu, komunitas itu tidak sempurna, kadang ada drama. Tapi di situlah esensinya, di tengah ketidaksempurnaan itu. Jangan mimpi surga di bumi, tapi bangunlah surga kecil di kampung sendiri.
ABCD punya lima prinsip inti yang bikin kepala geleng-geleng. Pertama, berbasis tempat, fokus di kampung sendiri. Kedua, dipimpin warga, bukan birokrat berdasi. Ketiga, berorientasi hubungan, karena silaturahmi itu modal utama.
Keempat, berbasis aset, lihat yang kuat, bukan yang lemah. Kelima, berfokus pada inklusi, rangkul semua, jangan ada yang terpinggirkan. Semua itu resep ampuh, bukan cuma teori manis.
Komunitas juga punya tujuh fungsi vital yang tak bisa digantikan. Mulai dari urusan kesehatan, keamanan, lingkungan, ekonomi, hingga pangan. Mereka juga yang mengurus anak-anak dan saling peduli.
Di Indonesia, jurus ABCD ini sudah dipraktikkan. Tengok saja desa-desa di Wonosobo, dirawat oleh Tafrihan, Aldhiana Kusumawati, dan kawan-kawan. Mereka tak sibuk menunggu dana, tapi menggerakkan potensi yang ada.
Ada juga Gang Motor Imut di Timor, namanya saja sudah bikin senyum. Mereka bukan geng motor ugal-ugalan, tapi justru promotor transisi energi di pedesaan. Isu-isu lingkungan dan sosial lainnya juga mereka sikat habis.
Ini bukti nyata, bahwa kekuatan sejati itu ada di akar rumput. Bukan di gedung-gedung tinggi, apalagi di meja rapat yang penuh basa-basi. Rakyatlah yang punya daya, rakyatlah yang bisa berkarya.
Singkatnya, ABCD itu tentang budaya komunitas yang melimpah ruah. Ada karunia yang tak terbatas, perkumpulan yang solid, dan keramahan yang tulus. Ini jalan menuju kebebasan sejati.
Jadi, jangan lagi sibuk mengeluh dan menunggu. Mari kita tengok ke dalam, ke kampung kita sendiri. Harta karun itu ada di sana, tinggal kita mau menggali atau tidak