Aksi Nyata Menyelamatkan Sumber Mata Air di Kawasan Lansekap Dieng untuk Masa Depan

di tulis oleh : LATIN

Wonosobo, 17 Oktober 2024 – Kongres Mata Air ke-IX yang diselenggarakan di Desa Igirmranak, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, telah sukses dilaksanakan dengan tema besar “Penyelamatan Mata Air untuk Keberlanjutan Lingkungan.” Kongres ini menjadi ajang penting untuk menggalang kolaborasi antara pemerintah, akademisi, NGO, dan masyarakat dari seluruh lansekap Dieng dalam upaya menyelamatkan sumber daya air yang semakin terancam di Jawa Tengah.

Dalam sambutannya,  Hery Budiarto menyatakan bahwa GEF SGP mengambil peran dalam pendanaan program di 4 bentang alam, salah satunya di lansekap DAS Bodri, Jawa Tengah dengan melibatkan 15 total mitra yang sedang menjalankan programnya sejak 2022 mulai dari hulu hingga ke hilir. “Kami berharap adanya Kongres Mata Air IX ini dapat menjadi upaya untuk melestarikan salah satu sumber kehidupan kita yaitu air dengan melibatkan multi stakeholder dalam pelaksanaannya,” tutup Hery.

Drs, H. Kholiq Arief, mantan Bupati Wonosobo tahun 2005-2015 yang juga salah satu penggagas Institut Pemulihan Dieng dalam Keynote speech-nya menekankan pentingnya kejelasan kebijakan, keberlanjutan teknologi, ekonomi, dan budaya sebagai kunci masa depan lingkungan. Dalam hal ini peran desa menjadi penting untuk lebih kreatif dalam menghimpun sumber daya para pihak untuk memastikan  keberlanjutan teknologi dan ekonomi dalam gerakan penyelamatan lingkungan dan sumber mata air jadi lebih baik.  “Dieng adalah menara air bagi banyak wilayah di Jawa Tengah. Jika kita tidak segera bertindak, kita akan kehilangan sumber kehidupan yang sangat vital”, imbuhnya.

Krisis Mata Air di Jawa Tengah dan Upaya Penyelamatan

Kawasan Dieng yang dikenal sebagai “Menara Air” mengalami penurunan debit air yang signifikan akibat eksploitasi yang berlebihan, alih fungsi lahan, serta dampak perubahan iklim. Penggunaan air yang tidak terkendali untuk pertanian, industri, dan kebutuhan domestik semakin memperparah kondisi ini. Dalam kongres tersebut, isu-isu ini diangkat sebagai masalah utama yang harus segera ditangani melalui kebijakan, penelitian ilmiah, dan partisipasi aktif masyarakat.

Shohib dari BKSDA Jawa Tengah menegaskan pentingnya regulasi yang ketat dalam perlindungan sumber daya air. “Pemerintah telah memiliki kerangka kebijakan yang jelas, namun implementasinya membutuhkan sinergi dari semua pihak, terutama masyarakat lokal yang menjadi penjaga utama mata air ini,” ujar perwakilan KLHK tersebut dalam sesi pleno.

Peran Akademisi dan Penelitian Ilmiah

Akademisi dari Universitas Gadjah Mada (UGM) turut memberikan pandangan mengenai pentingnya pendekatan berbasis ekosistem untuk memulihkan mata air. “Riset kami menunjukkan bahwa degradasi lingkungan di kawasan hulu harus segera dihentikan. Solusi yang didasarkan pada sains dan pendekatan berbasis ekosistem adalah kunci untuk memulihkan kondisi mata air di Dieng,” ujar Agus Hendratno, S.T.,M.T dari UGM dalam ceramahnya.

Kongres ini juga menyoroti pentingnya edukasi dan pemberdayaan masyarakat. Melalui lokakarya dan diskusi kelompok, masyarakat lokal diajak untuk lebih memahami peran mereka dalam menjaga sumber daya air. Kepala Desa Igirmranak, Joko Trisadono, sebagai tuan rumah Kongres Mata Air IX mengungkapkan, “Kami menyadari betapa pentingnya menjaga mata air untuk masa depan anak cucu kami. Kami siap bergandeng tangan dengan semua pihak untuk melestarikannya.”

Kolaborasi dan Partisipasi Masyarakat

Partisipasi aktif dari NGO lingkungan, seperti LATIN dan ARUPA, menjadi contoh nyata bagaimana keterlibatan masyarakat dapat memperkuat upaya pelestarian mata air. “ARUPA telah mendampingi 15 mitra untuk perbaikan pengelolaan DAS di 17 Desa. Tercatat hingga Oktober 2024, sebanyak 535 hektar wilayah DAS Bodri yang telah dipulihkan melalui program yang didukung oleh GEF SGP”, ungkap Rosikhul Ilmi, Program Manager ARUPA dalam paparannya.

Perbaikan sistem tata kelola terutama yang fokus kepada pendekatan kolaboratif multipihak untuk melindungi sumber daya air dan rehabilitasi ekosistem yang terdegradasi menjadi solusi yang ditawarkan Sastiviani Cantika selaku Deputi Direktur LATIN dalam paparannya mengenai pentingnya pendekatan multipihak dan sosial forestri dalam perbaikan DAS dan perlindungan mata air. “Krisis multidimensional yang terjadi di kawasan DAS harus diselesaikan melalui model pendekatan multistakeholder dengan mempertimbangkan peran yang setara oleh semua pihak. Tantangan dalam implementasi model ini adalah konflik kepentingan dan memastikan keberlanjutan gerakan.”

Sastiviani menambahkan, Sosial Forestri memainkan peranan penting dalam konservasi hutan dan pengembangan masyarakat dengan pelibatan masyarakat dalam mengelola Kawasan hutan yang berkontribusi signifikan terhadap keberlanjutan DAS. Proses pengembangan multipihak diawali dengan riset aksi, pelibatan stakeholder, perencanaan aksi bersama, dan monitoring evaluasi.

Kami telah melihat bagaimana hutan sosial yang dikelola masyarakat mampu berkontribusi besar dalam melindungi sumber air. LATIN melakukan inisiatif filantropi Jaga Hutan di Desa Bale Kambang, Kabupaten Pemalang, sebagai model kolaborasi multipihak dalam penyelamatan mata air melalui penguatan pengelolaan Sosial Forestri yang memastikan kelestarian hutan dan kesejahteraan masyarakat yang sejalan dengan visi Sosial Forestri di tahun 2045,” ungkap Sastiviani Cantika.

Selain itu, dalam diskusi panel, para peserta kongres akademisi juga menyoroti pentingnya keterlibatan masyarakat dalam menjaga ekosistem air melalui pendekatan yang sesuai dengan kearifan lokal. Kongres ini menggarisbawahi bahwa konservasi yang berbasis pada budaya dan tradisi masyarakat lokal terbukti efektif dalam menjaga kelestarian sumber daya air.

Hasil dan Rekomendasi Kongres

Kongres Mata Air ke-IX berhasil menyusun sejumlah rekomendasi strategis untuk penyelamatan mata air di Jawa Tengah. Dokumen rekomendasi ini akan diajukan kepada pemerintah pusat dan daerah untuk menjadi landasan dalam menyusun kebijakan yang lebih kuat dan implementatif. 

Rekomendasi yang dihasilkan dalam kongres ini mencangkup pemutakhiran dan digitalisasi data mata air, penguatan kerjasama dengan lembaga riset dan perguruan tinggi, serta pengukuran indeks kesehatan mata air untuk prioritas konservasi. Program edukasi lingkungan diintegrasikan dalam kurikulum pembelajaran baik di sekolah maupun pendidikan informal, dengan fokus pada penghijauan daerah mata air. Advokasi kebijakan diusulkan untuk memperkuat perlindungan mata air, kerjasama dengan sektor swasta maupun NGO dalam mendukung alternatif pendanaan. Pengembangan wisata edukasi yang ramah lingkungan dengan mendorong ekonomi lokal turut direkomendasikan.

Untuk melaksanakan rekomendasi ini, dibentuk kelompok kerja implementasi yang melibatkan berbagai pihak. Hal ini menjadi salah satu hasil konkret dari kongres ini melalui komitmen bersama antara pemerintah, akademisi, NGO, dan masyarakat kawasan lansekap Dieng untuk melanjutkan upaya pemulihan mata air di kawasan Dieng. “Kita tidak bisa menunggu lebih lama. Tindakan nyata harus segera diambil, dan itu dimulai dari sini, dari kongres ini,” tegas Tafrihan selaku ketua panitia  dalam pidato penutupnya.

Kongres Mata Air ke-IX bukan hanya menjadi ruang diskusi, tetapi juga langkah nyata menuju penyelamatan sumber daya air di Jawa Tengah. Dengan hadirnya berbagai pemangku kepentingan, dari pemerintah hingga masyarakat kawasan lansekap Dieng, harapan besar muncul bahwa mata air yang menjadi sumber kehidupan ini akan tetap lestari untuk generasi mendatang.

Penulis: Annisa Aliviani

Penyunting: Sastiviani Cantika

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *