Dieng Pusaka Saujana Indonesia

Sumber : BPPI ( Bumi Pelestarian Pusaka Indonesia)

Informasi umum

Dataran Tinggi Dieng terletak di Propinsi Jawa Tengah, dan berada di dua wilayah Kabupaten Wonosobo dan Banjarnegara. Terletak di ketinggian 2.093 m dari atas permukaan laut, sebuah kawasan yang subur karena terletak di kawasan gunung vulkanik yang masih aktif. Dataran Tinggi Dieng terletak berdekatan dengan gunung-gunung besar di Jawa Tengah, di antaranya adalah Gunung Sindoro, Gunung Sumbing. 

Potensi alam, budaya dan sejarahnya menjadi daya tarik tersendiri. Dataran Tinggi Dieng didominasi oleh area pedesaan dan pertanian terasering yang terbentuk di lahan berbukit-bukit sehingga menyuguhkan pemandangan yang indah. Obyek wisata yang sering dikunjungi antara lain beberapa kawah aktif (salah satunya Kawah Sikidang), Telaga Warna dan Pengilon, Goa Semar, mata air Sungai Serayu, situs-situs peninggalan berupa candi hindu seperti Candi Bima, Candi Arjuna, Candi Sembadra, Candi Gatotkaca, dll. Bukit Sikunir juga menjadi salah satu spot favorit untuk menikmati matahari terbit. Dari sisi tradisi dan budaya, masyarakat Dieng juga memiliki tradisi yang khas, antara lain tradisi ruwatan bagi anak yang berambut gimbal. Kegiatan ruwatan ini menjadi salah satu agenda rutin dalam kegiatan Dieng Culture Festival yang diselengarakan secara rutin 9 tahun terakhir.

Dataran Tinggi Dieng memiliki keunikan antara lain keunikan masyarakat, nilai religi, nilai sejarah dan ilmu, serta nilai penting kawasan Dieng. Kawasan ini memenuhi kriteria nilai sejarah yang kuat, sumberdaya pusaka, kondisi geografis yang khas, sistem alamiah dan proses perubahan biogeofisik serta sosial budaya yang masih berlangsung, sehingga pantas untuk disebut sebagai pusaka saujana (Nugraha, 2013).

Nama Dieng berasal dari gabungan dua kata Bahasa Kawi: “di” yang berarti “tempat” atau “gunung” dan “Hyang” yang bermakna (Dewa). Dengan demikian, Dieng berarti daerah pegunungan tempat para dewa dan dewi bersemayam. Teori lain menyatakan, nama Dieng berasal dari bahasa Sunda (“di hyang”) karena diperkirakan pada masa pra Medang (sekitar abad ke-7 Masehi) daerah itu berada dalam pengaruh politik Kerajaan Galuh.

Keunggulan Saujana Dieng

  1. Bentang alam kondisi geografis yang khas

Kawasan dataran tinggi Dieng terletak di ketinggian 2.093 m dari atas permukaan laut, menjadi dataran yang paling tinggi di Jawa Tengah. Kekayaaan bentang alamnya meliputi keragaman bentang alam pegunungan, danau, telaga, kawah dan lahan pertanian serta pemukiman penduduk. Dataran Tinggi Dieng didominasi oleh area pedesaan dan pertanian terasering yang terbentuk di lahan berbukit-bukit sehingga menyuguhkan panorama alam yang indah.

Kawasan Dataran Tinggi Dieng adalah sebuah kawasan gunung purba yang meletus beribu-ribu tahun yang lalu sehingga membentuk gunung-gunung kecil yang mengelilingi Dataran Tinggi Dieng antara lain adalah Bisma, Seroja, Binem, Pangonan, Pagerkandang, Telogo Dringo, Pakuwaja, Kendil, Kunir dan Prambanan. Lapangan fumarola terdiri atas Kawah Sikidang, Kawah Kumbang, Kawah Sibanteng, Kawah Upas, Telogo Terus, Kawah Pagerkandang, Kawah Sipandu, Kawah Siglagah dan Kawah Sileri.

  1. Nilai sejarah yang tinggi

Di Kawasan Dataran Tinggi Dieng terdapat peninggalan arkeologi berupa candi-candi yang tersebar di areal kawasan peninggalan-peninggalan arkeologi, seperti Candi Arjuna, Candi Bima, Candi Sembadra dan lain-lain. Kelompok Candi Arjuna terletak di tengah kawasan Candi Dieng, terdiri dari 4 candi yang berderet memanjang arah utara-selatan. Candi Arjuna berada di ujung selatan, kemudian berturut-turut ke arah utara adalah Candi Srikandi, Candi Sembadra dan Candi Puntadewa. Tepat di depan Candi Arjuna, terdapat Candi Semar. Keempat candi di komplek ini menghadap ke barat, kecuali Candi Semar yang menghadap ke Candi Arjuna. Kelompok candi ini dapat dikatakan yang paling utuh dibandingkan kelompok candi lainnya di kawasan Dieng.

  1. Keunikan nilai tradisi, seni budaya dan religi

Masyarakat di desa-desa di kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki kehidupan sosial dan budaya yang khas, seperti adat istiadat, kepercayaan, tata kehidupan masyarakat maupun kesenian. Atraksi seni budaya yang sampai saat ini masih banyak ditemui antara lain Tari Lengger, Tari Rampak Yaksa, pemotongan rambut gembel dll. Hal-hal tersebut menjadi sumberdaya pusaka budaya Kawasan Dataran Tinggi Dieng.

  1. Sistem alamiah dan proses perubahan biogeofisik dan sosial budaya

Kawasan Dataran Tinggi Dieng memiliki sistem alamiah dan proses perubahan biogeofisik serta sosial budaya yang masih berlangsung yaitu peran kawasan Dieng sebagai kawasan lindung, baik dari segi ekologi seperti kawasan lindung bagi berbagai macam flora dan fauna maupun sebagai kawasan lindung bagi kawasan di sekitarnya.

Tantangan pelestarian Saujana Dieng

Dataran Tinggi Dieng mengalami perubahan kualitas lingkungan yang cukup serius, antara lain disebabkan oleh meningkatnya alih fungsi lahan. Makin bertambahnya lahan-lahan kritis karena kegiatan yang merusak daya dukung lahan, misalnya pemanfaatan lereng bukit untuk pertanian yang tidak menerapkan teknologi konservasi, bahkan ada juga yang mengubahnya menjadi lahan permukiman (Nugraha, 2013).

Data penelitian menunjukkan dari tahun 2011 s/d 2015, total luas lahan kentang di Wonosobo meningkat 11% dari 3.088 hektar (ha) menjadi 3.431 ha. Perubahan tata guna lahan dan perluasan kebun kentang menyebabkan berkurangnya lahan dengan tanaman penahan yang kuat. Hal tersebut bisa menyebabkan terjadinya erosi yang cukup membahayakan. Menurut Andriana (2007) kondisi lingkungan di Dieng sudah sangat memprihatinkan. Alih fungsi lahan pada Kawasan Lindung Dataran Tinggi Dieng belum dapat dikontrol oleh PTRW (Perencanaan Tata Ruang Wilayah). Lapisan olah yang tipis dan besarnya laju erosi yang mencapai 463,86 ton/ha/th serta masifnya penanaman kentang juga menjadi pemicu kerusakan lingkungan.

Dari tinjauan manajemen pengelolaan, Kawasan Dieng masih mengalami kendala karena secara administratif kawasan ini terletak di dua Kabupaten yakni Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara, sehingga dalam praktek pengelolaannya terkesan terkapling-kapling. Perlu sinergi yang baik antar pemerintah daerah agar upaya pengembangan dan pelestarian kawasan secara keseluruhan bisa berjalan dengan baik.

Peluang pengembangan ke depan

Masyarakat Dataran Tinggi Dieng memiliki karakteristik budaya lokal yang unik. Hal ini merupakan potensi tradisi dan budaya. Pola hidup masyarakat di dataran tinggi dengan suhu yang dingin tentu akan berbeda dengan kebanyakan tempat lain. Hal-hal seperti ini sangat menarik untuk didorong menjadi daya tarik wisata budaya, untuk melengkapi tren wisata alam yang sudah berkembang pesat. Penyediaan sarana wisma penginapan/homestay dengan nuansa kampung yang alami juga bisa mendukung wisata yang ada. Desa-desa di sekitar bisa ditata dengan baik, dipertahankan ciri khas kelokalannya untuk menjadi alternatif kunjungan wisata. Namun perlu diingat jangan sampai kegiatan pariwisata bisa merusak lingkungan dan social budaya masyarakat.

Upaya-upaya pelestarian

Kegiatan konservasi sebagai usaha penyelamatan kawasan pusaka saujana Dataran Tinggi Dieng oleh instansi-instansi terkait belum berjalan maksimal karena masyarakat belum dilibatkan secara penuh dalam perencanaan, pelaksanaan maupun evaluasi sebuah program. Padahal pembangunan partisipatoris harus dimulai dari orang yang mengetahui tentang sistem kehidupan masyarakat setempat, yaitu masyarakat di wilayah Dataran Tinggi Dieng itu sendiri.

Upaya penerapan konsep pusaka saujana yang dimiliki Kawasan Dataran Tinggi Dieng perlu menggunakan pendekatan eko-ekonomi, artinya pada saat ekonomi menjadi arah pembangunan, maka kearifan lokal sosial-budaya masyarakat dan fungsi ekologi alam menjadi pengontrol dan penyeimbang stabilitas untuk menjaga poduktivitas lingkungan agar tetap lestari. Pemanfaatan budaya dan alam yang dijadikan sebagai sumberdaya atraksi pariwisata harus dilakukan dengan cara-cara yang eko-ekonomi dan memperhatikan kearifan lokal sosial-budaya masyarakat.

Tahun 2019 Bank Indonesia Jawa Tengah dengan program CSR-nya bekerja sama dengan HRC Caritra melakukan kegiatan revitalisasi Desa Sembungan, desa yang terletak di kawasan paling tinggi di Dieng.

Upaya masyarakat dalam mengangkat khasanah budaya Kawasan Dataran Tinggi Dieng dalam penyelenggaraan Festival Dieng tiap tahunnya juga patut diacungi jempol.

Penelitian dan Publikasi:

  • Andriana, Reni. (2007). Evaluasi Kawasan Lindung Dataran Tinggi Dieng Kabupaten Wonosobo.Tesis yang tidak dipublikasikan. Program Magister Ilmu Lingkungan Program Pasca Sarjana Universitas Diponegoro Semarang.
  • Julijanti (2005). Perubahan Pemanfaatan Lahan Di Kawasan Dataran Tinggi Dieng, Studi Kasus Difusi Spasial Usaha Tani Kentang Di Desa Batur dan Desa Dieng Kulon Kecamatan Batur Kabupaten Banjarnegara.Yogyakarta: Magister Perencanaan Kota dan Daerah UGM.
  • Nugraha, Angga Surya (2013). Pusaka Saujana Dataran Tinggi Dieng: Dampak Kegiatan Pariwisata dan Pertanian Terhadap Kemenerusan Pusaka Saujana di Dataran Tinggi Dieng. Tesis tidak dipublikasikan. Program Studi Magister Perencanaan Kota dan Daerah, Program Pascasarjana, Fakultas Teknik, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Saputro, Pramitama Bayu. (2011). Tata Kelola Wisata Di Dataran Tinggi Dieng Provinsi Jawa Tengah. Bogor: Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor.
  • Yuwana, Deva Milian Satria. (2010). Analisis Permintaan Kunjungan Obyek Wisata (Studi Kasus Di Kawasan Dataran Tinggi Dieng Kabupaten  Banjarnegara). Semarang : Fakultas Ekonomi Universitas Diponegoro.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *