Dody, Sang Enabler dari Hutan Alor

Oleh Dani Wahyu Munggoro, INSPIRIT
Alor, sebuah gugusan pulau di timur, membentangkan keindahan yang seolah tersembunyi. Hutan-hutan lebatnya memeluk pegunungan terjal, sementara garis pantai berbisik cerita lama. Namun, di balik pesona itu, Alor menyimpan tantangan yang tak kalah purba.
Jalan setapak yang menanjak, medan berbatu, dan sinyal telepon yang nyaris tak ada, adalah kawan sehari-hari. Desa-desa di punggung gunung, seperti Lawahing dan Adang Buom, seolah terukir dalam isolasi. Kondisi geografis ini bukan sekadar latar; ia adalah karakter yang membentuk setiap langkah.
Di tengah sunyi dan sulitnya akses, muncullah Dody Hartadi Prasetya. Ia seorang penyuluh kehutanan, namun perjalanannya di Alor adalah sebuah puisi kepahlawanan yang tak terucap. Kepahlawanannya tak meledak dalam satu tindakan dahsyat, melainkan merayap dalam konsistensi dan empati.
Dody melihat tugasnya sebagai api yang menyala, “meNYALAkan NYALA. memBAKAR perUBAHan.” Ini bukan sekadar frasa, melainkan tekad untuk mengubah setiap tantangan menjadi peluang. Motivasi utamanya, katanya, adalah “semangat masyarakat hutan yang ingin berubah dan bertumbuh,” sebuah nyala yang tak tergantikan.
Ia bukan penyelamat dari luar, melainkan katalis bagi daya diri. Kehadirannya yang terus-menerus, bahkan dalam kesulitan, adalah bentuk kepahlawanan yang langgeng. Ini adalah kisah tentang kesabaran, empati, dan kemampuan untuk membangkitkan potensi.
Inti dari keberhasilan Dody adalah filosofi “Enabler” yang dipegangnya teguh. Ia sengaja menjauh dari pola penyuluhan yang turun-temurun, yang seringkali bersifat satu arah. Dody tidak datang membawa jawaban yang sudah jadi, apalagi program yang tinggal diserahkan.
Ia datang untuk “mendengar, memahami, dan memberdayakan,” sebuah mantra yang diulang dalam setiap geraknya. Keyakinannya sederhana: solusi seringkali sudah bersemayam di dalam diri masyarakat itu sendiri. “Bukan menggurui tapi menggerakkan,” katanya, adalah kunci.
Ia memposisikan diri sebagai “Fasilitator Perubahan,” bukan “Pembawa Solusi” yang datang dan pergi. Ia ingin menjadi “Mitra Sejati,” jauh dari sekadar “Proyek Semata” yang berumur pendek. Ini adalah inovasi mendalam dalam cara kerja pembangunan.
Model tradisional sering menciptakan lingkaran ketergantungan, di mana masyarakat pasif menunggu uluran tangan. Dody memutus rantai itu, mendorong masyarakat mengidentifikasi masalah dan merajut solusi bersama. Pendekatan ini merangkul pengetahuan lokal, membangun kapasitas dari dalam.
Keberlanjutan inisiatif pun terjamin, sebab ia lahir dari rahim komunitas itu sendiri. Tantangan fisik yang Dody hadapi setiap hari, medan berat dan sinyal minim, bukan lagi hambatan. Semua itu telah menjadi “sahabat sehari-hari,” katanya.
Komitmen fisik ini, menanggung kesulitan yang sama, membangun jembatan kepercayaan yang kokoh. Kehadirannya yang tak pernah lekang adalah pesan non-verbal tentang kesetiaan. Di daerah yang mungkin akrab dengan intervensi sesaat, Dody adalah bukti kemitraan sejati.
Tiga tahun silam, Dody memperdalam filosofi “Enabler” ini melalui serangkaian kelas khusus. Ia menyerap setiap gagasan, mengasah naluri untuk melihat potensi tersembunyi. Pelatihan itu bukan sekadar teori, melainkan peta jalan praktis bagi jiwanya.
Di sana, ia belajar bahwa pemberdayaan adalah seni mendengar yang sabar, bukan sekadar berbicara. Ia memahami bahwa kekuatan sejati terletak pada kemampuan untuk memantik, bukan mendikte. Kelas-kelas itu mengukuhkan keyakinannya pada daya intrinsik masyarakat.
Dody memiliki mata yang tajam, mampu melihat permata di balik lumpur. Ia mengidentifikasi pohon kayu putih yang tumbuh melimpah di Alor, namun selama ini “hanya dianggap sebagai tanaman liar.” Ia melihat melampaui yang kasat mata, mengenali sumber daya laten yang menunggu sentuhan.
Kemampuannya melihat nilai dalam yang “belum teroptimalkan” adalah kepekaan terhadap peluang ekonomi. Ini bukan hanya tentang tanaman, melainkan tentang aset ekonomi yang tersembunyi dalam lingkungan komunitas. Banyak program memperkenalkan hal baru, Dody justru merangkul yang sudah ada.
Proses transformasi bermula bukan dari perintah, melainkan dari “memantik diskusi” bersama Kelompok Tani Hutan (KTH). Melalui kunjungan, dialog terbuka, dan pelatihan, masyarakat perlahan menyadari potensi daun kayu putih. Mereka pun mulai mengolahnya.
Lahirlah produk bernilai tinggi: minyak atsiri, balsem herbal, dan sabun herbal. Produksi sabun herbal, digerakkan KTH Maye Bung di Desa Alim Mebung, masih “manual dengan peralatan dan bahan seadanya.” Bahan-bahan lokal seperti minyak kelapa murni, zaitun, dan soda menjadi ramuan ajaib.
Pergeseran dari “dialog” ke “pelatihan” dan “realisasi” menyoroti transfer pengetahuan yang berhasil. Pengamat pasif berubah menjadi produsen aktif, dengan alat seadanya menjadi simbol kecerdikan. Ini membuktikan inovasi tak selalu butuh teknologi tinggi.
Selain kayu putih, Dody juga menginisiasi pengembangan lebah madu Apis Trigona. Proyek ini melengkapi upaya sebelumnya, mendiversifikasi sumber pendapatan bagi masyarakat. Ia berharap, komitmen serius akan melahirkan dampak ekonomi positif yang signifikan.
Inisiatif lebah madu ini menambah lapisan ketahanan ekonomi. Bergantung pada satu produk bisa berisiko, namun diversifikasi memberikan stabilitas. Peternakan lebah juga membawa dampak ekologis positif, seperti penyerbukan yang menjaga kesehatan hutan.
Ini adalah visi holistik Dody, menyatukan kesejahteraan masyarakat dengan pengelolaan lingkungan. Ia membangun fondasi ekonomi jangka panjang, bergerak melampaui kebutuhan sesaat menuju pertumbuhan yang berkelanjutan. Ia adalah arsitek masa depan.
Kelompok Tani Hutan (KTH), seperti KTH Maye Bung, adalah jantung dari semua keberhasilan ini. Pendekatan Dody bukan tentang individu, melainkan tentang menguatkan aksi kolektif dan organisasi mandiri dalam kelompok-kelompok ini. KTH menjadi saluran pengetahuan.
Mereka adalah mesin penggerak pembangunan ekonomi lokal, mengubah inisiatif Dody dari proyek pribadi menjadi milik masyarakat. Fokus pada KTH adalah strategis, sebab upaya individu, betapapun pentingnya, takkan seberkelanjutan tindakan kolektif. Pengetahuan pun terbagi.
Keberhasilan sejati peran Dody sebagai “Enabler” terlihat dari kepemilikan masyarakat dan tindakan spontan. Petani, yang dulunya penerima ilmu, kini “berbagi ilmu ke sesamanya,” menciptakan lingkaran belajar yang menyebar sendiri. Sebuah revolusi kecil.
Yang lebih menarik, “anak muda desa ikut membuat konten promosi produk HHBK local.” Ini adalah perpaduan harmonis antara kearifan tradisional dan keterampilan digital modern. Pengetahuan dan inovasi menyebar secara organik.
Efek riak ini adalah validasi terkuat dari filosofi Dody. Masyarakat tidak hanya mengadopsi praktik baru, tetapi juga menginternalisasi semangat inovasi dan kemandirian. Petani yang menjadi “guru” menunjukkan demokratisasi pengetahuan.
Pemuda yang memanfaatkan platform digital adalah bukti adaptasi terhadap zaman. Mereka menjembatani praktik tradisional dengan pemasaran kontemporer, membuka pintu ke pasar yang lebih luas. Ini adalah pembelajaran antargenerasi.
Ini menunjukkan masa depan di mana komunitas hutan Alor bukan hanya produsen. Mereka adalah inovator, pemasar, dan pendidik, yang mampu mempertahankan dan memperluas usaha mereka. Sebuah nyala yang takkan padam.
Dody, sang penyuluh, tak pernah berhenti belajar. Ia menemukan bahwa sumber ilmu terbesar adalah komunitas itu sendiri, tempat kearifan lokal bersemayam. Setiap kunjungan, setiap dialog, adalah kelas tanpa dinding baginya.
Ia belajar tentang ketahanan dari cara petani menghadapi musim kering, tentang inovasi dari tangan-tangan yang mengolah daun menjadi sabun. Masyarakat Alor adalah guru yang tiada henti, mengajarkan makna sejati dari pemberdayaan.
Dody telah memfasilitasi perubahan positif yang mendalam: mata pencarian meningkat, sumber daya dimanfaatkan lebih berkelanjutan, dan kemandirian masyarakat pun tumbuh. Namun, di balik semangat itu, Alor masih menghadapi keterbatasan.
Akses terhadap pengetahuan yang lebih luas, pasar yang lebih besar, dan jaringan yang kuat masih menjadi tantangan. Peran Dody sebagai fasilitator tetap krusial, ia adalah jembatan yang menghubungkan upaya lokal dengan peluang yang lebih besar.
Tantangan akses pasar ini menyoroti kebutuhan akan dukungan eksternal yang berkelanjutan. Namun, dukungan itu harus memfasilitasi, bukan menciptakan ketergantungan baru. Fokus bergeser dari “pemecahan masalah” ke “pembangunan ekosistem.”
Ini adalah fase kritis pembangunan berikutnya, di mana peran Dody berkembang dari inisiator menjadi penghubung. Ia menjembatani komunitas lokal yang berdaya dengan sumber daya eksternal yang mereka butuhkan untuk berkembang. Ini adalah tentang menciptakan ekosistem yang memungkinkan.
Dody memiliki keyakinan mendalam bahwa bagi masyarakat Alor, “Hutan sekedar pepohonan, tapi ia adalah Nafas, Warisan dan Harapan.” Pernyataan kuat ini merangkum visi holistiknya. Masa depan Alor adalah kemandirian, kemakmuran ekonomi, dan koeksistensi harmonis dengan hutan.
Ini adalah visi di mana pelestarian ekologi menyatu dengan kesejahteraan manusia dan tanggung jawab antargenerasi. Motivasi Dody berakar pada pemahaman mendalam tentang pentingnya hutan secara spiritual, budaya, dan eksistensial. Ini adalah landasan filosofis untuk pembangunan berkelanjutan.
gustus mendatang, sebuah panggung baru menanti Dody. Ia berkesempatan menjadi calon penyuluh terbaik dari Nusa Tenggara Timur, sebuah pengakuan atas dedikasi dan inovasinya. Ini bukan hanya tentang penghargaan pribadi, melainkan cerminan keberhasilan seluruh komunitas Alor.
Kisah Dody Hartadi Prasetya adalah bukti nyata bahwa kepahlawanan bisa ditemukan dalam dedikasi sehari-hari. Ia adalah “Sang Enabler,” yang telah menerangi jalan bagi pembangunan berkelanjutan di wilayah terpencil. Perubahan transformatif, katanya, berakar pada pemberdayaan, bukan dikte.
Perjalanannya di Alor bukan sekadar kisah sukses lokal, melainkan inspirasi bagi siapa pun yang percaya pada perubahan dari akar rumput. Dody mengakhiri pesannya dengan salam yang membakar: “Salam ENABLER salam pemberDAYAan salam LESTARI salam RIMBAWAN. KorVA mana KorVA.” Semangatnya tak pernah padam.
Kisah Dody, bersama kisah penyuluh kehutanan inspiratif lainnya di Indonesia, membentuk narasi besar. Mereka adalah pahlawan tanpa tanda jasa, vital bagi tujuan pembangunan kehutanan dan masyarakat. Keberhasilannya adalah manifestasi lokal dari kebijakan yang lebih luas.
Ini menekankan bahwa kepahlawanannya adalah bagian dari kader profesional yang seringkali kurang dihargai. Mereka sangat penting untuk mencapai target lingkungan dan sosial-ekonomi nasional. Ini memberikan resonansi nasional pada dampak lokalnya.
Kisah Dody adalah pengingat bahwa kemajuan sejati berkembang ketika semangat manusia dan potensi alam dipupuk bersama. Ini adalah seruan untuk melindungi hutan kita. Bukan hanya sebagai sumber daya, tetapi sebagai warisan dan suar harapan bagi generasi mendatang.