Filantropi “Bigbet” dalam Perubahan Sosial


oleh Dani Wahyu Munggoro

Dunia kini berdiri di sebuah persimpangan ganjil. Kekayaan menumpuk di satu sisi, sementara masalah global mendesak di sisi lain. Filantropi pun mencari jalan baru yang lebih bermakna.  

Model lama terasa tak lagi memadai. Donasi ke lembaga mapan memang penting, tapi tak menyentuh akar soal. Hanya sebagian kecil dana besar yang dialirkan untuk perubahan sosial sejati.  

Maka lahirlah sebuah paradigma baru: Filantropi ‘Big Bet’. Ini bukan sekadar soal memberi lebih banyak uang. Ini tentang cara berpikir yang berbeda dalam mendorong perubahan.

Di jantung gagasan ini, ada nama Rajiv J. Shah. Pengalamannya melintasi sektor publik, swasta, dan nirlaba. Bukunya,  Big Bets, menjadi semacam panduan dan memoar.

Lalu, apa sesungguhnya ‘Big Bet’ itu? Ia adalah upaya untuk benar-benar menyelesaikan masalah. Bukan sekadar membuat perbaikan tambal sulam.  

Filosofinya menolak pengobatan gejala semata. Ia menuntut ambisi untuk mengatasi akar persoalan. Sebab, masalah besar menuntut solusi yang sama besarnya.  

Ini juga soal mengubah cara bertanya. Bukan “Apa yang bisa kita lakukan dengan dana yang ada?”. Melainkan, “Apa yang sesungguhnya dibutuhkan untuk menuntaskan masalah ini?”.  

Visi yang besar ternyata punya daya pikatnya sendiri. Ia mampu memanggil mitra-mitra tak terduga untuk bergabung. Sebuah tujuan besar mengubah proyek amal menjadi tantangan peradaban.  

Kerangka kerjanya berdiri di atas tiga pilar utama. Pertama, harus ada sebuah solusi inovatif yang segar. Inovasi ini bisa berupa teknologi, model pembiayaan, atau gagasan baru.  

Kedua, perlu ada aliansi dari mitra-mitra yang tak biasa. Pemerintah, korporasi, dan masyarakat sipil harus bersatu. Sebab, tak ada satu pihak pun yang bisa mengubah dunia sendirian.  

Ketiga, dibutuhkan metode untuk melacak kemajuan. Data menjadi kompas yang memandu setiap langkah. Bahkan data tentang kegagalan adalah pelajaran berharga.  

Kisah suksesnya tercatat dalam sejarah. Kampanye vaksinasi global Gavi adalah contoh paripurna. Hampir satu miliar anak terlindungi dari penyakit mematikan.  

Inovasinya bukan pada vaksin itu sendiri, tapi pada model pembiayaannya. Pasar dibentuk, harga ditekan, dan nyawa diselamatkan. Sebuah ‘taruhan besar’ yang mengubah wajah kesehatan global.  

Namun, tak semua ‘taruhan’ berakhir dengan kemenangan. Proyek Power Africa di Kongo menjadi sebuah kisah peringatan. Risiko politik bisa menenggelamkan niat paling mulia sekalipun.  

Di sinilah kritik mulai bersuara. ‘Big Bet’ bisa menciptakan “jurang pendanaan” yang curam. Ketika dana besar berhenti, program yang dibangun dengan susah payah bisa runtuh.  

Ada pula soal keadilan yang lebih dalam. Jaringan elite dan bias latar belakang sering kali ikut bermain. Modal besar cenderung mengalir ke pemimpin yang seragam.  

‘Big Bet’ juga lebih cocok untuk “masalah kelangkaan”. Seperti kurangnya vaksin atau listrik. Ia gagap menghadapi “masalah keadilan” yang berakar pada prasangka dan kuasa.

Rasisme atau ketidaksetaraan gender tak bisa diselesaikan dengan satu solusi teknis. Masalah ini menuntut pendekatan ekosistem yang sabar. Bukan satu ‘taruhan’ tunggal yang gegabah.  

Lalu, bagaimana organisasi sosial bisa menjadi “siap bertaruh”? Kuncinya adalah membingkai tujuan dengan jelas. Fokus pada “titik tiba” yang konkret dan dapat dicapai.  

Penting juga untuk mengurangi risiko taruhan itu sendiri. Lakukan validasi dalam skala kecil sebelum melompat. Tunjukkan bukti konsep, bukan hanya sekadar visi besar.  

Strategi “pergeseran besar” menjadi sangat penting. Gunakan dana bukan untuk membesarkan organisasi sendiri. Tapi untuk memengaruhi sistem yang lebih luas agar berubah.  

Tujuannya adalah menjadi katalis, bukan pelaku utama selamanya. Setelah kebijakan berubah atau sistem diadopsi pemerintah, organisasi bisa kembali ramping. Dampaknya justru menjadi lebih lestari dan eksponensial.

Pada akhirnya, ‘Big Bet’ adalah alat yang kuat sekaligus berbahaya. Ia menjanjikan perubahan transformatif, namun sarat dengan risiko. Ia menuntut keberanian sekaligus kerendahan hati.  

Masa depan filantropi yang berdampak tidak terletak pada satu jalan tunggal. Ia membutuhkan keberagaman pendekatan dan kesadaran diri. Ia harus merangkul keadilan, bukan hanya efektivitas.  

Sebab, mengubah dunia adalah kerja yang rumit. Ia butuh lebih dari sekadar modal dan strategi. Ia butuh kebijaksanaan untuk tahu kapan harus bertaruh besar, dan kapan harus merawat taman kecil dengan sabar.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *