Pengambilan Air Suci Tertua Era Mataram di Dieng Melengkapi Prosesi Hari Jadi Wonosobo ke-199

Prosesi pengambilan air suci dari Tuk Bimo Lukar, tetes pertama Sungai Serayu, dan Goa Sumur Dieng menjadi bagian sakral dalam rangkaian perayaan Hari Jadi ke-199 Kabupaten Wonosobo. Kedua lokasi suci ini dipilih untuk mewakili arah utara, sebagai simbol penyatuan tujuh sumber mata air yang akan diarak dalam prosesi “Birat Sengkolo” sebagai simbol tolak bala dan keberkahan bagi Wonosobo.

Agus Wibowo, Kepala Dinas Pariwisata dan Kebudayaan (Disparbud) Kabupaten Wonosobo, menyampaikan bahwa prosesi ini bukan hanya ritual semata, tetapi juga upaya menjaga kelestarian situs, tradisi, dan budaya lokal. “Pengambilan air suci ini merupakan bukti nyata pelestarian tradisi yang telah ada sejak zaman Mataram. Ritual ini juga diharapkan menjadi atraksi wisata budaya bagi Desa Dieng dan Desa Jojogan di Kecamatan Kejajar,” ungkapnya. Agus juga menambahkan bahwa ke depan, semua pihak diharapkan mendukung prosesi ini, yang sebelumnya hanya dihadiri oleh sedikit peserta. Tahun ini, melibatkan seluruh Organisasi Perangkat Daerah (OPD), kepala desa, perangkat desa, serta masyarakat setempat.

Sakralitas Tuk Bimo Lukar dan Goa Sumur

Mbah Rusmanto, pemangku adat Dieng, menyebut bahwa sejak zaman Mataram Kuno, air dari Tuk Bimo Lukar dianggap sebagai air suci, bahkan sering digunakan dalam berbagai upacara besar di Bali. Menurutnya, air dari Goa Sumur, yang juga dikenal sebagai “Perwitasari,” akan dicampur bersama dengan air dari enam mata air lainnya sebagai simbol tolak bala pada Hari Jadi Wonosobo.

Prosesi Pengambilan Air dari Tujuh Penjuru

Prosesi pengambilan air dimulai dari tujuh mata air yang tersebar di berbagai penjuru Wonosobo. Selain Dieng yang mewakili utara, beberapa lokasi lainnya adalah Tuk Surodilogo dan Tuk Mudal di timur, Tuk Sampang dan Tuk Tempurung di selatan, serta Tuk Kaliasem di barat. Agus Wibowo menjelaskan, “Pengambilan ini merupakan simbol pelestarian mata air sebagai lambang kehidupan dan upaya konservasi Sungai Serayu.”

Pada malam perayaan Hari Jadi, tujuh sumber mata air tersebut akan dicampur, didoakan oleh lintas agama, termasuk oleh perwakilan Majelis Luhur Kepercayaan Indonesia (MLKI), dan digunakan dalam ritual jamasan pusaka. Di pagi harinya, air tersebut akan diserahkan kepada Bupati Wonosobo di Paseban Timur dan dibawa ke tengah Alun-alun untuk disebarkan ke empat penjuru sebagai simbol tolak bala dan penyucian.

Perjalanan Sakral ke Goa Sumur

Prosesi ini dimulai dengan pengambilan air dari Tuk Bimo Lukar, diikuti dengan perjalanan sakral menuju Goa Sumur di Kompleks Telaga Warna. Semua peserta berjalan kaki sekitar 1 kilometer dengan suasana hening. Pengambilan air harus mengikuti aturan, yakni dimulai dari Tuk Bimo Lukar terlebih dahulu, baru kemudian Goa Sumur, untuk menghormati nilai sakralitas ritual yang telah diwariskan sejak lama.

Selain peserta lokal, upacara ini juga diikuti oleh mahasiswa KKN UGM yang sedang bertugas di beberapa desa sekitar, seperti Desa Sembungan, Dieng, Sikunang, dan Igirmranak. Kehadiran mereka menambah semarak sekaligus mengenalkan budaya Dieng yang kaya akan nilai-nilai tradisi dan kepercayaan.

Menyongsong Kolaborasi Budaya di Masa Depan

Ritual ini juga menjadi momentum awal untuk membangun kolaborasi antara Desa Dieng dan Desa Jojogan, yang diharapkan dapat mengembangkan prosesi ini sebagai atraksi wisata budaya. Agus Wibowo menyampaikan harapannya agar tradisi ini dapat terus dikembangkan menjadi daya tarik bagi wisatawan. “Saya berharap, ke depan, ritual ini dapat diperpanjang waktunya dari pagi hingga malam, sehingga wisatawan dapat merasakan makna yang mendalam dari setiap prosesi yang ada,” tutupnya.

Prosesi sakral pengambilan air suci ini menjadi bukti nyata bahwa tradisi yang telah berlangsung sejak zaman Mataram masih terus dijaga hingga kini. Sebagai bagian dari geosite Geopark Nasional yang sedang dalam proses penilaian, Dieng menunjukkan kekayaan budaya dan keunikan geologi yang hidup berdampingan, menciptakan harmoni yang penuh makna bagi Wonosobo dan Nusantara.

Pengambilan air suci di Tuk Bimo Lukar dan Goa Sumur Dieng tidak hanya sekadar ritual; ia adalah cerminan dari kekayaan tradisi dan budaya yang telah mengakar di masyarakat Wonosobo. Dengan melibatkan berbagai elemen masyarakat dan pemerintah, prosesi ini menjadi sarana untuk memperkuat rasa kebersamaan serta pelestarian budaya lokal yang sangat berharga.

Harapan Agus Wibowo dan pemangku adat Mbah Rusmanto untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam prosesi ini adalah langkah positif menuju revitalisasi nilai-nilai budaya yang mungkin selama ini terlupakan. Selain itu, pengembangan atraksi wisata budaya ini diharapkan dapat meningkatkan ekonomi lokal, menarik wisatawan, dan mengenalkan kekayaan budaya Wonosobo kepada dunia luar.

Membangun Kesadaran Lingkungan

Selain aspek budaya, ritual ini juga mengingatkan kita akan pentingnya menjaga dan merawat sumber daya alam, khususnya mata air yang menjadi sumber kehidupan. Agus Wibowo menekankan bahwa proses pengambilan air suci ini juga merupakan bentuk penyadaran akan pentingnya konservasi sumber air sebagai bagian dari ekosistem yang lebih besar. Dengan meningkatnya kesadaran akan pelestarian lingkungan, diharapkan masyarakat dapat lebih berkomitmen untuk menjaga keindahan dan keberlanjutan sumber daya alam di sekitar mereka.

Memperkuat Identitas Budaya

Dengan dilaksanakannya prosesi ini secara rutin, identitas budaya Wonosobo semakin kuat. Masyarakat diajak untuk mengenali dan merayakan warisan budaya yang dimiliki, serta mewariskannya kepada generasi mendatang. Upacara ini merupakan pengingat bahwa di tengah modernitas dan perubahan zaman, akar budaya harus tetap terjaga dan dihormati.

Tindak Lanjut

Dalam waktu ke depan, sangat penting untuk mengintegrasikan pelaksanaan ritual ini dengan kegiatan lain yang berkaitan dengan kebudayaan dan lingkungan. Penyuluhan tentang nilai-nilai budaya dan cara menjaga kelestarian lingkungan dapat dilakukan di sekolah-sekolah dan komunitas untuk menjangkau generasi muda.

Keterlibatan akademisi dan mahasiswa dalam prosesi ini juga sangat berarti. Dengan membawa perspektif baru dan semangat yang segar, mereka bisa berkontribusi dalam mengembangkan kegiatan budaya yang lebih menarik dan inklusif, sehingga lebih banyak orang bisa terlibat dan menyadari pentingnya budaya serta pelestarian lingkungan.

Kesimpulan

Prosesi pengambilan air suci di Dieng merupakan titik awal yang sakral bagi perayaan Hari Jadi Wonosobo ke-199. Dengan menggabungkan tradisi, budaya, dan upaya konservasi lingkungan, Wonosobo tidak hanya merayakan masa lalu tetapi juga membangun masa depan yang lebih berkelanjutan dan penuh makna. Ritual ini diharapkan menjadi daya tarik wisata yang kuat, mempromosikan keindahan alam dan kekayaan budaya, serta menumbuhkan rasa cinta dan tanggung jawab terhadap warisan yang ada.

Dengan demikian, Wonosobo akan tetap menjadi tempat yang kaya akan tradisi dan budaya, menginspirasi tidak hanya masyarakat lokal tetapi juga para pengunjung yang datang dari jauh untuk menyaksikan keindahan dan kedalaman makna dari setiap prosesi yang dilakukan.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *