Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air dalam kawasan Geopark Dieng

Sumber : Rencana Induk Geopark Dieng

    

Sarana prasarana sumber daya air (SDA) menjadi aspek yang penting untuk dibahas mengingat Kawasan Geopark Dieng didominasi oleh pola ruang terkait dengan perkebunan dan pertanian yang keduanya membutuhkan pasokan air untuk irigasi. Komponen SDA tersebut umumnya di dalam RTRW dibedakan menjadi dua, yaitu sistem jaringan irigasi (prasarana) dan bangunan SDA (sarana). Pada segmen Kabupaten Banjarnegara yang diindikasikan dalam RTRW adalah sistem jaringan irigasi primer, sekunder, tersier, dan jaringan lainnya, serta bangunan SDA berupa sumber air permukaan lainnya yang setelah dikonfirmasi tidak lain merupakan telaga. Sementara itu pada Kabupaten Wonosobo, yang diindikasikan adalah sistem jaringan irigasi berupa irigasi primer serta bangunan SDA berupa bendung.

Saat ini seluruh prasarana irigasi yang tercantum dalam draft RTRW kedua kabupaten per tahun 2023 merupakan prasarana yang sifatnya existing atau sudah terbangun. Dapat dikatakan pula bahwa belum terdapat rencana pembangunan baru di dalam kawasan tersebut sehingga yang dilakukan cenderung berupa kegiatan operasional yang terdiri dari pengelolaan, pemanfaatan, dan perlindungan sistem jaringan irigasi. Total panjang sistem jaringan irigasi di segemen Kabupaten Wonosobo yang seluruhnya merupakan jaringan irigasi primer adalah kurang lebih 60,34 km, fungsi yang sama di segmen Kabupaten Banjarnegara memiliki panjang kurang lebih 25,90 km. Fungsi lain di segmen Kabupaten Banjarnegara yaitu jaringan irigasi sekunder dan tersier memiliki panjang yang tidak signifikan, yaitu berturut-turut kurang lebih 0,75 dan 0,53 km. Sisanya, sepanjang kurang lebih 56,55 km merupakan sistem jaringan irigasi lainnya di segmen Kabupaten Banjarnegara yang tidak dispesifikkan lebih lanjut, sehingga dapat dimungkinkan pula irigasi tersebut bukan merupakan sistem irigasi teknis atau yang bersifat sederhana tanpa perkerasan atau penggunaan teknologi khusus. Pada dasarnya irigasi primer, sekunder, dan tersier memiliki fungsi yang sama, yaitu untuk mengalirkan air ke pertanian dan perkebunan, hanya saja yang membedakan ketiganya adalah terkait dengan posisinya. Irigasi primer terletak paling dekat dengan sumber air atau jaringan air

permukaan terdekat, sementara itu irigasi sekunder merupakan percabangan dari irigasi primer, dan irigasi tersier merupakan percabangan dari irigasi sekunder. Dengan demikian, perbedaan proporsi total panjang ketiganya tidak menjadi permasalahan.

Mengenai bangunan SDA, saat ini menurut draft RTRW tersebut terdapat 46 bendung existing pada segmen Kabupaten Wonosobo, sedangkan di segmen Kabupaten Banjarnegara bendung tersebut tidak dipetakan. Menurut definisi dari Kementerian PUPR, bendung tersebut merupakan bangunan utama pada jaringan irigasi yang berfungsi untuk menaikkan muka air yang umumnya berada di sungai, dengan menaikkan muka air sungai tersebut maka akan terdapat puncak untuk pelimpasan air tersebut. Bendung tersebut juga dapat difungsikan sebagai pengukur kecepatan aliran air sungai serta penahan banjir. Ke depannya dapat dilakukan pemetaan bendung tersebut di segmen Kabupaten Banjarnegara dan/atau pembangunan apabila belum dilakukan. Dalam Perda Kabupaten Banjarnegara Nomor 11 Tahun 2011 tentang RTRW Kabupaten Banjarnegara Tahun 2011-2031 disebutkan bahwa terdapat rencana pembangunan embung di tiap kecamatan yang kemudian difungsikan sebagai bangunan SDA untuk irigasi, akan tetapi dalam peta tidak diindikasikan lokasinya termasuk pada kawasan geopark tersebut.

Peta Sarana dan Prasarana Sumber Daya Air

Catatan: Sebaran Geosite Dijelaskan Lebih Lanjut pada 2.2.1. Sebaran Situs GeoparkSumber: Draft RTRW Kabupaten Banjarnegara dan Wonosobo Per Tahun 2023, Diolah Tim Penyusun, 2023

Sebelumnya sudah disinggung bahwa komponen sarana SDA di segmen Kabupaten Banjarnegara terdiri dari komponen sumber air permukaan lainnya. Jika diteliti lebih lanjut, sumber air permukaan lainnya tersebut terletak di telaga, tepatnya di Telaga Dringo dan Telaga Merdada. Keduanya merupakan geosite yang kemudian di dalam peta ditandai dengan nomor 03 dan 12. Berdasarkan survei lapangan dengan menghimpun informasi melalui wawancara dengan stakeholder terkait, dikonfirmasi bahwa kedua telaga tersebut memang kerap digunakan sebagai sumber irigasi sekaligus untuk air baku domestik, khususnya ketika musim kemarau. Hal tersebut juga terjadi pada kemarau panjang pada akhir tahun 2023 ini. Meskipun sudah diarahkan dalam draft RTRW namun secara riil pengambilan air dari telaga-telaga tersebut juga dilakukan secara organik oleh masyarakat khususnya petani setempat, contohnya dengan memasang pipa serta pompa secara mandiri yang menghubungkan telaga-telaga tersebut dengan bangunan atau lahan masing-masing. Selain mengurangi estetika, dampak dari kegiatan tersebut yaitu mengeringnya kedua telaga, kekeringan paling parah terjadi pada Telaga Merdada yang dapat dibuktikan melalui berbagai media massa yang ada saat ini yang kerap memberitakan adanya kekeringan pada situs tersebut. Hal tersebut perlu untuk menjadi perhatian lebih mengingat kedua telaga tersebut termasuk pada geosite dengan keunikan geologi yang perlu untuk dilestarikan. Berbagai alternatif dapat diupayakan untuk mengatasi hal tersebut, misalnya dengan membangun embung atau bendungan, memanen air hujan atau rain harvesting, hingga meregulasi diversifikasi tanaman yang ditanam di sekitar telaga, mengingat saat ini di sekitar telaga didominasi oleh kentang yang dikenal membutuhkan pasokan air besar dan jika tidak dipaksakan mengambil air dari telaga maka petani akan sangat merugi sebab modal yang dikeluarkan untuk pertanian kentang terbilang sangat besar.

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *