Sinkronisasi Antara Pariwisata dan Pertanian
Pembangunan pariwisata di kawasan konservasi harus mampu menjaga keseimbangan antara aspek ekonomi dan lingkungan. Hal ini penting agar keberlanjutan ekosistem tetap terjaga dan tidak terjadi kerusakan akibat kegiatan pariwisata. Dalam konteks ini, sinergi antarlembaga menjadi kunci, untuk mencegah tumpang tindih kebijakan dan egosentrisme masing-masing instansi.
Hasil Riset Strategi Akselerasi Pengembangan Pariwisata
Dalam penyampaian hasil Riset Strategi Akselerasi Pengembangan Pariwisata Jawa Tengah pada 11 April 2019 di Semarang, Firmansyah dari Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) Cabang Semarang menekankan pentingnya kerjasama antara dinas pariwisata dan balai konservasi sumber daya alam. Sinergi ini diperlukan untuk memetakan kawasan konservasi yang dapat dijadikan lokasi wisata serta kawasan konservasi yang harus steril dari kegiatan wisata.
Salah satu contoh kawasan yang mengedepankan sinergi ini adalah Kepulauan Karimunjawa di Kabupaten Jepara, yang merupakan salah satu dari empat Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN) di Jawa Tengah, bersama Candi Borobudur, Dataran Tinggi Dieng, dan Museum Purbakala Sangiran. Firmansyah juga menekankan perlunya komitmen untuk menjaga kelestarian alam dengan melakukan pembatasan jumlah wisatawan pada waktu-waktu tertentu, serta pentingnya kolaborasi antara pelaku pariwisata, akademisi, bisnis, komunitas, pemerintah, dan media.
Tantangan di Kawasan Dieng
Tafrihan, pengawas Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Sembungan, mengungkapkan bahwa di kawasan Dieng, pendampingan dari pemerintah sangat diperlukan dalam pengelolaan wisata untuk mencegah dampak negatif terhadap fungsi lahan. Tanaman kentang yang merupakan komoditas andalan dapat mengancam ekosistem lahan jika tidak dikelola dengan baik, dan penanaman yang massif dapat menyebabkan tanah longsor.
Rambu-Rambu Konservasi
Sinoeng Noegroho, Kepala Dinas Kepemudaan, Olahraga, dan Pariwisata (Disporapar) Jateng, menjelaskan pentingnya rambu-rambu konservasi dalam pengembangan pariwisata. Koordinasi dengan pihak taman nasional atau Perhutani diperlukan untuk mengatasi permasalahan yang muncul. Ia menekankan bahwa pengembangan pariwisata harus dilakukan secara kolaboratif, dengan forum-forum yang melibatkan semua pihak agar tidak terjadi benturan dengan upaya konservasi.
Data Kunjungan Wisatawan
Data dari Disporapar Jateng menunjukkan bahwa kunjungan wisatawan mancanegara (wisman) ke Jateng mengalami penurunan sebesar 13 persen dari 781.107 pada tahun 2017 menjadi 677.168 pada tahun 2018. Sebaliknya, kunjungan wisatawan domestik (wisnus) meningkat 24 persen dari 40,1 juta menjadi 50 juta. Penurunan kunjungan wisman sebagian besar disebabkan oleh tidak adanya penerbangan langsung internasional di Bandara Internasional Adi Soemarmo Solo dan dampak revitalisasi kawasan Kota Lama Semarang.
Rencana untuk Meningkatkan Kunjungan Wisata
Sinoeng optimis bahwa setelah revitalisasi Kota Lama rampung, jumlah kunjungan akan meningkat, dengan target 1,2 juta wisatawan mancanegara pada tahun 2019. Disporapar Jateng telah menetapkan Calendar of Events 2019, yang menampilkan berbagai kegiatan budaya dan sosial, seperti Borobudur Marathon, Festival Kota Lama, Festival Cheng Ho, Dieng Culture Festival, dan Ontel Kebangsaan. Kegiatan ini diharapkan dapat menarik lebih banyak wisatawan dan memperkuat identitas budaya lokal.
Kesimpulan
Sinergi antara pariwisata dan pertanian sangat penting untuk keberlanjutan lingkungan dan ekonomi di kawasan konservasi. Dengan koordinasi yang baik antarlembaga, dukungan dari pemerintah, dan keterlibatan masyarakat, pengembangan pariwisata yang ramah lingkungan dapat terwujud, memberikan manfaat bagi ekonomi lokal tanpa merusak ekosistem.