|

Tembakau Garangan Swating Tiengterkenal Sejak Jaman Belanda

Tembakau Garangan Swating tieng adalah produk tembakau khas dari Desa Tieng, Kecamatan Kejajar, Kabupaten Wonosobo, Jawa Tengah. Produk ini tidak hanya memiliki nilai ekonomi tinggi, tetapi juga mengandung cerita dan mitologi yang kaya.
Tembakau pertama kali dikenalkan di Asia oleh orang-orang Spanyol yang singgah di Filipina pada abad ke-16. Pada awal tahun 1600-an, tanaman tembakau mulai ditanam di wilayah Nusantara. Popularitasnya yang cepat menyebabkan Kompeni VOC berusaha memonopoli perdagangan tembakau pada tahun 1626. Merokok pun menjadi simbol status sosial di kalangan elite lokal.

Pada pertengahan abad ke-19, tembakau menjadi salah satu komoditas unggulan Pemerintah Kolonial Belanda. Melalui sistem tanam paksa, perkebunan tembakau berkembang dari ujung timur Pulau Jawa hingga ke Batavia. Petani pribumi mulai menguasai sektor budidaya dan pengolahan tembakau di akhir abad ke-19
Wonosobo, dengan dataran tinggi yang subur, merupakan wilayah ideal untuk budidaya tembakau. Petani di lereng Gunung Sumbing, Sindoro, dan pegunungan Dieng menanam tembakau sebagai komoditas unggulan. Tembakau yang dihasilkan dari wilayah ini menjadi bahan baku untuk beberapa produsen rokok terkenal di Indonesia.jaman dulunya biasanya setelah panen tembakau langsung di gilir dengan tanam jagung, sehingga kesuburan tanahnya tetap terjaga

Proses Pengolahan Tembakau Garangan swating Tieng

Tembakau garangan memiliki proses pengolahan yang unik dan panjang. Di Kecamatan Kejajar, proses dimulai dengan milih daun yang layak petik, kedian mengambil batang tengahnya ( ruwek dalam bahasa tiengnya) memeram lalu merajang halus daun tembakau secara manual. Tembakau yang telah dirajang kemudian diletakkan di atas anyaman bambu (rigen) dan dicetak secara manual. Setelah dicetak, tembakau digarang (diasapi) menggunakan kayu bakar , kemudian di keringkan dengan sinar selama 3-4 hari untuk pengeringan dan kalau malam sering dibiarkan diluar ruangan agar mendapatkan embun. Hasil akhirnya dipacking dan disimpan. Ada empat varian warna hasil garangan: hitam, kuning, merah hitam, dan merah kuning.

Dalam buku Tjarios Tanah Pareden Dieng halaman 32 yang dipublikasikan tahun 1912 karangan R. Prawirasoedirdja diceriatakan bahwa keadaan tanah desa Tieng yang sangat subur dan terbantu oleh embun menjadikan tembakau tieng menjadi tembakau terbaik di kawasan dieng, bahkan dalam satu musim warga bisa mendapatkan uang sekitar 50.000 gulden kalau diuangkan kurs sekarang sekitar 350 juta rupiah.

Tempat ini juga menjadi desa pilihan bagi desa lain untuk titip mengolah tembakau ,hasil dari olahan ini dijual sampai ke banten , Batavia, Surabaya dan kota kota besar pada jaman itu, sampai sekarang model pengolahan tembakau tradisional tersebut masih terus dilestarikan dan menjadi bagian dari geo cultural geopark dieng, hal ini terungkap saat desa Tieng dikunjungi tim penilai aspiring geopark dari pusat.bahkan saat dikunjungi tim kelompok tani desa tieng juga menampilkan inovasi baru dengan membuat cerutu dihadapan tim penilai yang terkagum kagum dengan nilai budaya yang mempertahan tradisi olah tembakau ini secara tradisional semua.

Ekonomi dan Kebudayaan
Tembakau adalah komoditas yang sangat penting bagi masyarakat perdesaan, terutama di wilayah pegunungan. Selain menjadi sumber penghasilan utama, tembakau juga berperan dalam pembangunan dan perkembangan ekonomi wilayah pegunungan. Di Wonosobo, tembakau menjadi bagian dari identitas lokal yang perlu dilestarikan.
Mitologi Tembakau dan ki Ageng Makukuhan
Dari informasi yang diperoleh dari situs resmi Kecamatan Kedu, Temanggung, Ki Ageng Makukuhan, yang nama aslinya adalah Ma Kuw Kwan, merupakan figur bersejarah yang menarik dalam sejarah penyebaran Islam di Indonesia, khususnya di wilayah Kedu, Temanggung. Kisahnya yang penuh dengan kebijaksanaan dan pengorbanan menunjukkan bagaimana budaya dan agama dapat menyatu dengan harmoni.

Selain mendapat tambahan ilmu agama, Ki Ageng Makukuhan juga diajari cara bercocok tanam, ilmu kanuragan oleh Sunan Kudus. Setelah dirasa cukup ilmu yang diberikan, Sunan Kalijaga menugaskan dia untuk menyebarkan agama Islam di daerah Kedu, Temanggung dan akhirnya dia menetap di sana.

Dari sejarah Ki Ageng Makukuhan yang makamnya ada di puncak Gunung Sumbing dijelaskan dia mulai menyebarkan Islam di daerah Kedu dengan media pertanian. Dia tak segan-segan melakukan shalat di tengah sawah. Ternyata saat panen, hasil panen Ki Ageng Makukuhan berkualitas dan bagus dan hal ini membuat masyarakat penasaran dan meniru apa yang dilakukan Ki Ageng Makukuhan, yakni shalat. Masyarakat Temanggung yang terkenal dengan city branding “ kota tembakau”memiliki mitos tentang asal-usul tembakau yang mengaitkannya dengan Ki Ageng Makukuhan. Menurut mitos, Ki Ageng Makukuhan menemukan tanaman ini saat mencari tanaman obat untuk menyembuhkan seseorang, saat menemukan tanaman pahit tersebut saat itu juga beliau spontan menyebut “iki tambaku”( ini obatku ).

Setelah berhasil menyembuhkan orang tersebut, tanaman itu dinamakan “tembakau,” yang konon berasal dari kata “tambaku” (obatku).Untuk mengabadikan ki Ageng Makukuhan saat ini di sematkan dalam nama sebual hall megah yang terletak di tepi jalan temanggung magelang,
Tembakau dianggap sebagai “emas hijau” oleh masyarakat setempat karena nilai sosial, ekonomi, dan budayanya yang tinggi. Petani tembakau di lereng Gunung Dieng, Sindoro dan Sumbing percaya bahwa tembakau adalah tanaman asli dari tanah mereka sendiri, bukan tanaman asing.

Keistimewaan Tembakau Garangan

Tembakau garangan dapat disimpan dalam waktu yang lama, dan semakin lama disimpan, semakin mantap dan harum aromanya , harganyapun akan semakin melambung tinggi. Proses fermentasi yang terjadi selama penyimpanan meningkatkan kualitas tembakau. Pengolahan tembakau garangan juga melibatkan kearifan lokal, seperti penggunaan kayu bakar dari batang tembakau (sogol) dan daun pisang kering (klaras) untuk packing.untuk tembakau swating sebagian besar menggunakan kayu akasia decuren(kasiah) dan kayu kopi.

Kualitas tembakau swating Tieng juga sangat ditentukan darimana lokasi tanamnya seperti dari Sikunir, prambanan, pengkol, mbaros, gunung watu, blok sumur, nglebuuh dll. Sentra Tembakau Swating Desa Tieng terus berinovasi dalam memproduksi tembakau berkualitas. Diversifikasi produk, seperti tembakau lembutan yang dirajang dan dijemur, serta tembakau instan untuk penikmat nglinting dewe (tingwe), menjadi bagian dari upaya melestarikan dan mengembangkan warisan budaya ini.

Tembakau garangan bukan hanya komoditas ekonomi, tetapi juga bagian dari sejarah, kebudayaan, dan identitas masyarakat Wonosobo. Produk ini mencerminkan kearifan lokal dan perjuangan petani dalam menjaga tradisi turun-temurun.(Taf)

Similar Posts

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *